Bisnis.com, JAKARTA-Pemerintah harus mengakomodasi kemajuan teknologi dan kebutuhan masyarakat dalam menerapkan kebijakan restorasi lahan gambut agar tidak menimbulkan persoalan baru seperti kemiskinan serta persoalan sosial lainnya.
Pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora mengatakan pemerintah harus mempunyai ketegasan agar kekeliruan masa lalu tidak terulang. Kebijakan restorasi gambut harus mempunyai keseimbangan antara lingkungan dan pembangunan agar tidak mematikan industri yang sudah ada.
“Saat ini, ini ada sekitar 40-60 juta jiwa yang hidup tergantung pada industri berbasis sumber daya alam seperti kelapa sawit yang memanfaatkan gambut sebagai lahan produksi,” katanya Selasa (22/12).
Dia mengatakan keputusan terkait kasus kebakaran hutan belum lama ini dinilai ada yang tidak fair. Sebab, lanjutnya, semua kesalahan hanya ditimpakan kepada korporasi sebagai pesakitan. Padahal pemerintah punya kontribusi dalam persoalan ini. Adanya UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memperbolehkan masyarakat membakar dengan luasan lahan 2 ha. Selain itu pemerintah gagal dalam mengawasi kawasan konservasi sejak tahun 1980-an yang kini banyak dirambah.
Padahal,dalam kasus kebakaran hutan, data Forrest Global Watch menunjukkan 56% kebakaran terjadi diluar kawasan hutan.
“Tapi sayangnya, pemerintah membiarkan hampir 1 tahun isu berjalan menghantam industri unggulan seperti kelapa sawit Indonesia seolah-olah mereka pelakunya,” ujarnya.
Ricky yang juga Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan Fakultas Kehutanan IPBmenyayangkan sikap pemerintah lebih terbawa arus suara-suara sumbang LSM yang menginginkan agar industri untuk menyetop kegiatannya.
“Hal ini mengakibatkan pengusaha berpikir adanya konspirasi untuk mematikan industri unggulan karena faktor persaingan dengan negara lain. Jika dibiarkan, kesalahan seperti industri plywood yang berjaya tahun 1990-an, namun kolaps hanya dalam waktu 5 tahun bakal berulang.”
Ricky mengingatkan, LSM di Indonesia melakukan kampanye positif dan bisa membangun lingkungan dan industri kearah yang lebih baik. Jangan sebaliknya mencoreng Indonesia di dunia internasional seolah industri Indonesia identik sebagai perusak.
“Persoalan kebakaran yang berlarut bukan hanya menjadi tanggung jawab korporasi. Semua pihak termasuk pemerintah, masyarakat dan LSM mempunyai kontribusi dalam persoalan ini,” kata Ricky.
Menurut Ricky, semua pihak perlu mempunyai motif yang lebih baik untuk mencari titik keseimbangan dalam pengelolaan lingkungan.
Sementara itu, Lulie Melling, Director Tropical Peat Research Laboratory Unit Malaysia mengatakan, gambut bisa dimanfaatkan dengan teknologi tata kelola air yang baik dan tehnik pemadatan.
Dalam pengelolan gambut, ketinggian air sebaiknya pada 60-70 sentimeter untuk mengurangi berbagai dampak buruk serta mempertahankan kelembaban.
Tata kelola gambut juga harus mengakomodasi drainase, destumping, stacking, dan tata kelola air dengan mengatur ketinggian air pada 60-70 sentimeter. "Proses pemadatan dan tata kelola air untuk meingkatkan density soil bulk,” kata Lulie.
Menurut Lulie, pengelolan gambut di Indonesia perlu didukung penelitian ilmiah agar tidak terjadi fitnah. “Kesadaran mengenai pentingnya teknologi pengelolaan lahan gambut, seharusnya dikomunikasikan akademisi kepada para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, pengambil keputusan industri dan pekerja untuk mendapat pemahaman yang lengkap,” kata Lulie.