Bisnis.com, GRESIK--Pemerintah mengakui implementasi pembayaran Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atau BMDP untuk sektor industri tertentu membutuhkan proses yang lebih lama.
Para pelaku industri khusus disarankan menggunakan fasilitas ini untuk mendorong efisiensi produksi.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan lamanya proses pemberian fasilitas BMDP terhadap industri tertentu dikarenakan jumlah pelaku industri yang banyak.
"Karena jumlahnya banyak tentu saja membutuhkan waktu yang lebih lama. Tapi terbuka kemungkinan proses itu bisa diperpendek," ujarnya saat melakukan kunjungan penugasan pembiayaan ekspor yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Kamis (10/12/2015).
Sebaliknya, fasilitas BMDP bisa diakses dengan cepat oleh korporasi industri khusus di mana tidak banyak pelaku usaha bergerak di bidang yang sama seperti produksi kereta api.
"Saya tahu kendala yang dihadapi oleh PT INKA misalnya impor kaca kereta setara dengan impor kaca mobil mewah. Jadi bisa manfaatkan fasilitas itu," tambahnya.
Persoalan BMDP diungkapkan oleh Direktur PT Industri Kereta Api (INKA) Agus Purnomo yang mengeluhkan pemberlakuan bea masuk untuk komponen produksi kereta sekitar 3% hingga 7%.
Berdasarkan catatan Bisnis, pelaku usaha industri sering mengeluhkan akses fasilitas BMDP karena harus melalui rantai birokrasi yang panjang.
Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) M. Arif Wibowo mengatakan fasilitas itu, tidak akan bermanfaat banyak bagi maskapai penerbangan karena rantai birokrasi yang terlampau panjang. Operator, paparnya, harus mengajukan bujet anggaran peralatan yang diteliti oleh Kementerian Perhubungan.
Setelah itu, pihak Kemenhub mengajukan ke Kemenperin lalu diserahkan ke Kementerian Keuangan. Proses tersebut, katanya, membutuhkan waktu hampir setahun sementara airline membutuhkan pencarian anggaran secepatnya. Hal inilah yang menurutnya tidak memberikan efeks positif bagi pelaku usaha penerbangan nasional.
“Jumlahnya juga tidak seberapa karena biaya perawatan maskapai di Indoensia mencapai Rp15 triliun. Sekitar 40% merupakan biaya pembelian spare part. Hitung saja sendiri berapa besarnya dan apakah setara dengan Rp400 miliar itu,” terangnya.
Pada 2014 penyerapan fasilitas ini tergolong sangat rendah yakni di bawah 10% dari total anggaran Rp400 miliar yang disiapkan oleh Kemenperin.