Bisnis.com, SAMARINDA -- Suasana di ruang pertemuan kantor Gubernur Kalimantan Timur, Kamis (26/11) siang itu mendadak sunyi saat Rachmawati, 37, mulai berbicara. Suaranya terdengar serak dan terbata-bata.
Dengan mata berkaca-kaca, dia hanya mampu berbicara singkat. "Saya berharap tidak ada lagi anak-anak kita yang tenggelam di lubang tambang," katanya.
Rachmawati merupakan ibu dari Raihan Saputra, korban meninggal di bekas lubang tambang pada Desember 2014.
Sejak 2011 hingga saat ini, setidaknya selusin anak-anak di Samarinda yang mengalami nasib serupa.
Raihan yang saat kejadian berumur 10 tahun merupakan korban ke-9.
Kamis siang itu, Rachmawati bersama beberapa ibu korban mendatangi Kantor Gubenur atas undangan Komnas HAM.
Dalam pertemuan tersebut juga hadir perwakilan dari masyarakat adat di Kaliamantan Timur.
Gagai, warga Dayak Basap di Desa Keraitan Kutai Timur, mengadukan permasalahannya dengan PT Kaltim Prima Coal.
Perusahaan batu bara tersebut diketahui mencoba memindahkan masyarakat Dayak Basap dari tempat tinggalnya saat ini untuk kepentingan pertambangan.
Kehadiran mereka memang relevan dengan tema diskusi siang itu: Bisnis dan hak asasi manusia.
Sebagai gudangnya sumber daya alam, Kalimantan Timur sangat rentan terhadap permasalahan tersebut.
Tidak heran jika kantor gubernur siang itu turut diramaikan keluhan masyarakat terkait dengan kemungkinan pelanggaran HAM.
Asisten Bidang Kesejahteraan Masyarakat Sekprov Kaltim Bere Ali tidak menampik hal tersebut.
Di mulai dengan bisnis kayu di era 1980-an, Kalimantan Timur kemudian menikmati booming batu bara di era milenium.
Namun, pengerukan sumber daya alam secara masif tersebut menimbulkan efek domino yang tidak sedikit.
Kini hanya sedikit hutan alam di Kaltim yang masih tersisa.
"Batu bara pun dampaknya juga seperti itu. Kini lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan malah merenggut nyawa anak-anak kita," ujarnya, Kamis (26/11).
Pemerintah Provinsi menurutnya, tidak bisa berwenang banyak. Pemberian izin pertambangan sebelumnya berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten. UU no. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah lah yang akhirnya memberikan kewenangan kepada pemerinta provinsi mengatur izin tambang.
Dengan kewenangan tersebut, pemerintah provinsi akhirnya mengeluarkan moratorium izin tambang baru.
Bere mengakui, industri pertambangan menimbulkan persoalan sosial yang tidak sedikit.
Permasalahan ini mulai dari lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi, konflik dengan masyarakat adat setempat, hingga debu dan kebisingan yang menghantui masyarakat di sekitar lokasi.
Persoalan HAM pada akhirnya, menjadi isu yang sulit diredam keberadaannya.
Ketua Komnas HAM Nurcholis menuturkan persinggungan HAM dan bisnis sudah menjadi isu internasional yang dibahas sejak beberapa tahun lalu.
Dalam implementasinya di Indonesia, Komnas HAM tengah berupaya menyusun naskah akademik antara bisnis dan HAM.
Kalimantan Timur dipilih mewakili industri pertambangan se-Kalimantan untuk mencari masukan penyusunan rencana aksi nasional tersebut.
"Sebelumnya kami sudah melakukan loka karya serupa di Palembang yang mewakili industri perkebunan se-Sumatera, katanya," Kamis (23/11).
Nurcholis menuturkan permasalahan HAM yang melibatkan korporasi di Indonesia tidak pernah sepi.
Setiap tahun, sekitar 5.000 hingga 7.000 kasus pengaduan masuk ke meja komisioner.
Dari Kalimantan Timur, kasus yang pernah diadukan adalah tenggelamnya anak-anak di lubang tambang.
Jika mengacu pada data yang ada, persoalan tambang di Kalimantan Timur memang patut menjadi perhatian lebih.
Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur membeberkan data yang cukup membuat peserta diskusi menggelengkan kepala.
"Kami mencatat ada 1.488 izin usaha pertambangan yang ada di Kalimantan Timur. Total luasnya mencapai 46% dari seluruh luas wilayah Kaltim. Ini belum termasuk izin kelapa sawit dan migas," katanya, Kamis (26/11).
Merah merinci daya rusak yang ditimbulkan dari pertambangan batu bara. Mulai dari perusakan hutan, emisi karbon, dampaknya terhadap kesehatan, hingga lubang bekas tambang yang tidak direklamasi.
Kendati demikian, batu bara nampaknya masih menarik di kalangan investor.
Belum lama ini, PT Indominco Mandiri bahkan masih bernafsu meningkatkan produksinya dengan mengajukan rencana pengalihan aliran Sungai Santan.
Bere Ali pun memastikan pemerintah provinsi telah menolak permohonan perusahaan tersebut.
Pertemuan tersebut memang tidak akan mampu menyelesaikan seluruh permasalahan bisnis dan HAM di Kalimantan Timur.
Namun, keluhan yang diajukan oleh Rachmawati, masyarakat Dayak Basap, dan banyak masyarakat adat lainnya mengingatkan kita bahwa bisnis tidak seharusnya mengangkangi hak asasi manusia.