Bisnis.com, JAKARTA – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tengah mengkaji rumusan peraturan presiden yang akan mewajibkan seluruh produk kayu dalam proyek pengadaan pemerintah untuk memenuhi sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK.
Direktur Kehutanan Bappenas Basah Hernowo mengatakan langkah tersebut dapat mendorong perbaikan tata kelola hutan Indonesia secara lestari. Pemerintah juga berkepentingan agar setiap barang yang digunakan tidak berasal dari kegiatan ilegal.
“Jangan sampai kita tidak tahu asal-usul produk kayu yang dipakai pemerintah. Aturan ini nanti dibuat dalam perpres,” katanya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Menurut Basah, pengenaan kewajiban SVLK menjadi domain Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Sebagai langkah awal, institusi itu akan membuat panduan kewajiban SVLK bagi para pimpinan proyek dan pejabat pembuat komitmen.
Kewajiban SVLK, kata Basah, dibuat bertahap agar pelaku usaha dapat menyesuaikan diri. Apalagi, pengaturan tersebut akan mencakup institusi pemerintah pusat dan daerah.
“Ini kan kita aturanya dari Sabang sampai Merauke. Dibuat bertahap supaya pengusaha kecil tidak kesulitan memasok ke pemerintah,” tuturnya.
Basah mengatakan pengadaan barang berbahan kayu pemerintah cukup tinggi. Saat ini, pemerintah gencar membangun sekolah-sekolah baru yang membutuhkan peralatan pendukung seperti bangku, meja, hingga papan tulis. Ada juga proyek penggantian barang-barang pemerintah yang rusak.
SVLK dibuat untuk memastikan legalitas produk hasil hutan Indonesia baik di sektor hulu, maupun hilir. Sistem itu diwacanakan sejak 10 tahun lalu dan resmi diundangkan pada 2009.
Pada awalnya, pelaku usaha mengurus SVLK bersifat sukarela guna memenuhi tuntutan pasar internasional yang menghendaki kayu legal. Seiring perjalanan waktu, SVLK direncanakan menjadi syarat wajib (mandatori) per 1 Januari 2016 bila pelaku usaha ingin mengekspor produk hasil hutan.
Sayangnya, Kementerian Perdagangan kemudian membatalkan rencana tersebut. Dalam Permendag No. 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan, pelaku usaha tidak lagi wajib menyertakan V-Legal (sebagai bukti SVLK) untuk 15 pos tarif. Yang masuk dalam kategori ini adalah barang-barang produk hilir.
Kementerian yang dipimpin Thomas Lembong itu beralasan kewajiban SVLK dapat memberatkan kalangan pelaku usaha kecil dan menengah. Bila ini terjadi, ekspor produk hasil hutan Indonesia dapat merosot.
Sontak, keputusan itu mendapat penolakan dari kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.