Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Praktik Catut Nama Pemilik Perusahaan, Pemerintah Harus Menindak Tegas

Pemerintah diminta untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Pajak, dan kepolisian untuk mencegah praktik nominee agreement.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga yakni Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Pajak, dan kepolisian untuk mencegah praktik nominee agreement.

Nominee agreement atau catut/pinjam nama dalam praktik sehari-hari adalah penggunaan nama seseorang Warga Negara Indonesia sebagai pemegang saham suatu PT di Indonesia atau sebagai salah seorang persero dalam suatu perseroan komanditer.

Nominee agreement juga kerap kali dilakukan penggunaan nama seseorang Warga Negara Indonesia sebagai salah satu pemilik tanah dengan status hak milik atau Hak Guna Bangunan di Indonesia.

Pemerintah telah melarang praktik nominee agreement dalam Undang-Undang No. 25/2007 tentang Penanaman Modal dimana dalam Pasal 33 ayat (1) bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Nawir Messi mengatakan praktik nominee agreement ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi di negara lain juga terjadi.

Terjadinya praktik nominee ini, lanjutnya, terjadi karena adanya pemanfaatan celah bagi seseorang yang telah di-blacklist untuk dapat masuk ke Indonesia. Transaksi nominee ini juga terjadi dalam bentuk money laundering oleh para investor asing.

"Money laundering, KPPU sering sekali menemukan orang asing yang masuk ke salah satu usaha di Indonesia, investigasi. Orang Nigeria invest di Cikarang, kaos kaki, topi, dan kita melaporin itu enggak ada yang follow up. Mereka cost US$5 dijual di sana US$4. Itu pasti money laundering," ujarnya seusai acara Focus Group Discusion Mitigasi Praktik Nominee Dalam Kegiatan Investasi di Indonesia di Jakarta, Selasa (17/11/2015).

Selain money laundering, praktik nominee agreement ini juga dilakukan di bawah tangan, contohnya kepemilikan properti.

Investor asing menanamkan modalnya dengan membeli properti melalui warga negara Indonesia. 

"Kemudian kita lihat transaksi dibawah tangan di properti, perhotelan, di bidang usaha, pusat wisata seperti di Bali dan Mataram, Lombok yang sifatnya agak lebih informal. Seminyak itu orang asing semua enggak ada WNI lagi," katanya.

Nawir menyebut selama ini transaksi nominee agreement ini merugikan negara terkait dengan penerimaan negara.

Kendati demikian, pihaknya tidak memungkiri praktik nominee ini juga menguntungkan masyarakat lokal.

Masyarakat lokal yang tadinya tidak memiliki bisnis dengan nominee ini akhirnya bisa memiliki bisnis dengan skala pembiayaan yang cukup besar.

"Nominee ini ada negatif dan positif. Kelas bawah punya butik, penginapan di Bali. Kalau mereka paham secara perjanjian itu hak mereka, mereka bisa ngambil alih semua itu," kata Nawir.

Oleh karena itu, untuk memberantas praktik nominee ini harus ada koordinasi antar lembaga yakni BKPM, PPATK, Pajak, dan kepolisian untuk mengawasi dan menindak lanjuti praktik Nominee ini.

Pasalnya, saat ini tidak ada lembaga yang khusus untuk mengawasi praktik nominee ini. Tim khusus yang terdiri dari berbagai lembaga ini dibutuh sebagai tempat pelaporan dan untuk menindaklanjuti praktik nominee ini.

"Saya lihat enggak perlu badan khusus untuk memonitoring dan mengawasi praktik ini. Ini perlu ada tim khusus antar lembaga terkait yang berada di bawah koordinasi BKPM yang dilakukan reguler. Tim khusus ini mencari jalan keluar. Kita juga enggak tau berapa miliar kerugian negara dari praktik ini karena enggak data dan lembaga yang fokus pada praktik ini," tutur Nawir.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan juga menyarankan agar lembaga pemerintah agar dapat berkoordinasi untuk memberantas praktik nominee ini.

Pasalnya perlu ada komitmen kuat pemerintah yakni dengan memonitoring praktik yang diduga nominee ini merugikan negara.

"Nominee agreement ini tidak terbuka dan seolah-olah di bawah tangan. Tidak terekspos sehingga perlu monitoring dan koordinasi antar lembaga sesuai dengan aturan yang ada," ucapnya.

Dalam melakukan pengawasan praktik ini, tidak memerlukan pembentukan badan khusus tetapi dengan mengoptimalkan lembaga yang ada.

"Lembaga yang ada yang memiliki tools atau instrumen yang cukup untuk penegakkan hukum karena ini dibawah tangan dan persaingan usaha antara pelaku yang dirugikan dan yang diuntungkan untuk melakukan paduan terhadap ini," ujar Fadhil.

Selain itu, tambahnya, juga diperlukan edukasi kepada masyarakat bahwa praktik nominee ini menguntungkan pelaku yang dipinjam namanya.

Pasalnya, secara hukum aset perusahaan ataupun properti dalam praktik nominee ini seluruhnya merupakan milik pihak nominee.

"Kalau nominee ini orang yang pintar, berdasarkan undang-undang punya dia semua sehingga kalau ada pertengkaran antara nominee dan si investor asingnya membuat seluruh aset itu milik nominee," kata Fahdil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper