Bisnis.com, JAKARTA – Kondisi perekonomian petani karet dalam negeri kian terpuruk, disebabkan oleh harga komoditas tersebut di tingkat dunia yang terus tergerus. Petani karet lokal saat ini terpantau mulai mengalihfungsikan lahannya untuk menanam komoditas yang lebih menguntungkan.
Data yang dipubikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) awal pekan ini menunjukkan nilai tukar petani (NTP) perkebunan merupaan satu-satunya yang indikatornya dibawah 100, yang artinya pengeluarannya lebih besar dari yang didapat petani sehingga daya belinya turun.
Data BPS menunjukkan NTP perkebunan rakyat yaitu 96,39, di bawah NTP Tanaman Pangan yaitu 102,46, NTP Hortikultura yaitu 101,96, dan NPT Peternakan yaitu 108,6.BPS menyebut daya beli petani perkebunan yang turun terjadi terutama pada petani karet dan cengkeh.
Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane mengatakan, penurunan harga komoditas karet tidak dapat dibendung. Pasalnya, saat ini pasar-pasar tujuan ekspor telah menurunkan pembeliannya sedangkan industri dalam negeri belum menyerap produksi karet lokal dengan maksimal.
“Saya rasa industri karet ini tidak mungkin ada perbaikan hingga 2016 karena situasi perdagangan karet di pasar global masih amat rapuh. Di lapangan banyak petani menebang pohonnya dan tidak lagi menampung karet,” kata Azis di Jakarta, Rabu (4/11/2015).
Azis menilai saat ini pemerintah belum melakukan upaya apapun untuk dapat mengerek harga karet di tingkat petani. Belum lama ini, pemerintah sempat berencana menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) mengenai hilirisasi karet namun tak kunjung terealisasi.
Menurut data Dewan Karet, saat ini harga komoditas karet di tingkat petani bervariasi di setiap daerah, namun berada di level rendah. Di Kalimantan, harga karet per kilogram yaitu Rp3.000, di Sumatera Rp4.000.
Padahal, menurut kalkulasi Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), dengan memperhitungkan biaya produksi, harga karet di tingkat petani minimal mencapai USS1,8. Harga karet dunia pun tergerus hingga USS1,2 setelah sempat mencapai USS4,6 per kilogram.
Salah satu solusi yang harus ditempuh pemerintah, menurut Azis, yaitu mengintensifkan kembali upaya hilirisasi yang sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Pasalnya, saat ini salah satu pasar ekspor terbesar, yaitu China, pertumbuhan sektor manufakturnya terus turun.
“Pada awal 2000-an China tumbuh di atas 10% sehingga ekspor ke China tinggi. Tiba-tiba pertumbuhan mereka terus menurun sejak 2012 sehingga sektor manufakturnya hancur-hancuran. Kita harus menyusun langkah-langkah untuk survive. Sekarang petani kita apatis melihat situasi,” ujar Azis.