Bisnis.com, JAKARTA - Sejak bencana asap kembali muncul pertengahan September, jajaran pemerintah yakin dapat mengatasinya tanpa bantuan asing. Ketika itu, Singapura adalah negara pertama yang menyatakan kesediaan memberi bantuan. “Kita masih sanggup. Apalagi kalau bantuannya tidak memadai, buat apa?” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, pertengahan bulan lalu.
Bantuan tidak signifikan itu merujuk pada rencana bantuan Singapura yang hanya akan mengerahkan satu helikopter Chinook untuk pemadam api dan satu armada pembuat hujan buatan. Adapun pemerintah kala itu sudah menyiapkan 25 armada dari berbagai jenis.
Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) Herry Purnomo termasuk salah satu orang yang ‘memprovokasi’ Siti untuk tidak menerima bantuan asing tersebut. “Buat apa kita terima kalau cuma satu. Itulah yang saya bilang tempo hari kepada Ibu Menteri,” katanya saat rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (8/10/2015).
Guru Besar Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mendasarkan argumennya dari pendekatan ilmiah. Menurutnya, jangankan satu pesawat Singapura, sebanyak 25 pesawat sejenis pun tidak akan mampu. “Kalau sudah gambut yang terbakar, pesawat apapun tidak bisa memadamkan api. Dibutuhkan triliunan meter kubik air untuk memadamkannya,” ujarnya.
Herry memaparkan gambut adalah danau mahabesar yang mengandung material organik membusuk (kandungan air 90%) sejak jutaan tahun lalu. Ketika gambut tersebut kering—yang salah satunya disebabkan oleh fenomena El Nino—maka akan rentan terbakar. Alhasil, dibutuhkan volume air raksasa untuk kembali mengisi air yang hilang guna menghentikan api. “Kecuali kalau kita bisa mengalirkan Danau Toba.”
Apa yang dikatakan oleh Herry memang terbukti benar. Hingga saat ini, bencana asap di Riau dan Kalimantan belum bisa teratasi. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah areal terbakar mencapai 1,7 juta hektare melonjak 10 kali lipat dibandingkan dengan bulan lalu. Berkali-kali Presiden Joko Widodo blusukan ke hutan terbakar, tetapi tidak kunjung udara di sana kembali bersih.
Namun, pemerintah tampaknya tidak sanggup menghadapi tekanan bertubi-tubi. Kamis (8/10), Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis pernyataan akan menerima bantuan pesawat dari Rusia, Malaysia, dan Jepang. Setiap pesawat setidaknya mampu membawa 10 ton (10.000 liter) air atau lebih tinggi dari kapasitas maksimal armada Indonesia yang hanya 5 ton.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles B. Panjaitan mengonfirmasi bantun asing tersebut. Dia mengatakan pesawat akan dipakai dalam memadamkan api di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. “Info dari lapangan sudah dimulai hari ini di OKI. Di sana dipakai bersama lima helikopter dari BNPB dan dua air traktor dari KLHK,” katanya kepada Bisnis, Senin (12/10).
Tidak ada yang bisa memprediksi apakah bantuan pesawat canggih itu akan benar-benar dapat memadamkan api. Seperti kerap dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Amerika Serikat yang unggul dalam teknologi dirgantara pun tidak mampu melenyapkan kebakaran hutan di Kalifornia.
Sementara itu karakter kebakaran hutan Indonesia terjadi di lahan gambut yang menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencapai 80% dari total kebakaran. Seorang pejabat Kementerian LHK mengatakan bantuan asing, selain belum tentu berhasil juga berisiko dari segi keamanan. Pesawat yang berseliweran di udara Indonesia bisa saja mengambil data-data penting yang memiliki nilai strategis bagi pertahanan Indonesia. “Bayangkan kalau mereka bisa dengan mudahnya mengambil data-data itu,” ujar pejabat itu tanpa mau namanya ditulis.
Herry Purnomo mengingatkan bencana asap akan terus terjadi selama pangkal sebabnya yaitu kebakaran gambut tidak diatasi. Pembakaran itu sendiri bisa dicegah dengan membuat sebanyak mungkin sekat kanal. Namun, bila para pembakar tetap dibiarkan bebas maka efek jera akan sulit terjadi. Apalagi aksi pembakaran di daerah kental dengan motif politik-ekonomi. “Pembakaran merupakan cara paling murah untuk membuka lahan. Ini merupakan bentuk sifat greedy alias rakus,” ujarnya.
Menurut dia, pemilik lahan hanya bermodalkan Rp800.000 per hektare saat membakar lahan, sementara kalau me nyewa tr aktor butuh biaya empat sampai lima kali lipat. Pembakaran adalah langkah awal meningkatkan nilai jual lahan, khususnya untuk perkebunan sawit. Dia mencontohkah lahan gambut di Riau seharga Rp8,5 juta per ha. Pascapembakaran, nilai lahan membengkak menjadi Rp11 juta.
Dalam tiga tahun, nilai jual lahan yang sudah ditanami menyentuh Rp40 juta. Lantas siapa saja yang mendapatkan keuntungan tersebut? Herry berujar mereka adalah elit daerah, baik itu pemimpin desa, kecamatan, kabupaten maupun tokoh-tokoh masyarakat yang langsung atau tidak langsung membiarkan kebakaran terjadi.
Pemilihan kepala daerah serentak pada akhir tahun ini turut menjadi pemicu karena tokoh-tokoh butuh modal besar. Sementara, kerugian, baik langsung atau tidak, dirasakan oleh 30 juta orang yang terpaksa menghirup udara tersemar.
Provinsi Riau telah melaporkan estimasi kerugian hingga Rp20 triliun. Jika dihitung ada enam p rovinsi, maka nilanya menjadi Rp120 Triliun. Singapura pun telah melaporkan kerugian hingga US$1,5 miliar atau sekitar Rp20 triliun.“Jadi ada sekitar Rp150 trilun kerugian di Indonesia ditambah Singapura. Kalau ditambah negara lain mungkin bisa Rp200 triliun akibat bencana ini,” ujarnya.
Direktur Eksekutif KEMITRAAN Monica Tanuhandaru mengungkapkan penegakan hukum adalah kunci untuk mengatasi potensi berulang-nya kebakaran hutan. Namun, saat ini penegakan hukum baik kepada individu maupun korporasi masih lemah.
Dia meminta pemerintah belajar dari kasus PT Kalista Alam yang diharuskan membayar ganti rugi lebih dari Rp300 miliar karena membakar gambut di Rawa Tripa, Aceh. “Pemerintah harus berani menindak tegas pelaku pembakaran, baik skala kecil, menengah, maupun besar.”