Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan menginstruksikan pemerintah daerah setempat di Papua untuk mendaftarkan landasan pacu rumput atau aspal seadanya (airstrip) yang ada di sekitarnya agar dapat dievaluasi, sekaligus meminimalisir terjadinya insiden ke depannya.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Suprasetyo mengaku banyak bandara airstrip di Papua yang selama ini belum teregistrasi Kemenhub. Akibatnya, Kemenhub tidak bisa mengukur tingkat kelayakan bandara tersebut sebagai tempat pendaratan pesawat.
“Kami sudah menyurati pemerintah daerah, gubernur, bupati, dan walikota. Bandara airstrip itu harus didaftarkan. Kalau tidak ini namanya ilegal. Akan ada sanksi. Masa helipad didaftarkan, bandara airstrip tidak. Semua boleh buat sendiri, tetapi tetap harus legal,” ujarnya, Rabu (9/9/2015).
Suprasetyo mengaku tidak tahu pasti berapa banyak bandara airstrip di Papua. Dia memperkirakan jumlah bandara airstrip di Papua mencapai ratusan. Selain Papua, Kemenhub juga menginstruksikan pemerintah daerah lainnya untuk meregistrasikan bandara di sekitarnya.
Tim investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Nurcahyono menuturkan rata-rata bandara airstrip di Papua memang tidak sesuai dengan standar internasional. Menurutnya, perlu ada standar khusus terkait bandara airstrip tersebut.
“Keadaan geografis di situ kan tidak cocok untuk standar internasional. Harus ada standar khusus, bandara seperti apa yang cukup layak dibangun di Papua. Saya berharap setelah registrasi itu, pemerintah juga memikirkan ini,” tuturnya.
Sekadar informasi, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 31/2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional menyebutkan, jumlah bandara yang teregistrasi di Papua sebanyak 71 bandara. Adapun di Papua Barat tercatat 17 bandara.
Dari total bandara di Papua dan Papua Barat tersebut, sebanyak 41 bandara terklasifikasi memiliki panjang landasan kurang dari 800 meter. Sementara landasan pacu dengan panjang 800-1.200 meter sebanyak 32 bandara.
Sementara itu, Direktur Navigasi Penerbangan Kemenhub Novi Riyanto menilai tingkat kesulitan penerbangan yang tinggi di Indonesia timur, khususnya Papua harus diantisipasi melalui penggunaan teknologi berbasis satelit dan transmisi digital.