Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peningkatan Ekspor Pulp Perlu Diwaspadai

Pelaku industri bubur kayu dan kertas mengingatkan oemerintah terkait tren ekspor bubur kayu ketimbang kertas
Pohon Akasia jenis crassicarpa dipanen dan dilebur menjadi pulp untuk diolah menjadi kertas di pabrik pengolahan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). RAPP adalah pabrik pulp dan kertas Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL) di bawah  RGE Group  milik Sukanto Tanoto. (Bisnis/Lahyanto Nadie)
Pohon Akasia jenis crassicarpa dipanen dan dilebur menjadi pulp untuk diolah menjadi kertas di pabrik pengolahan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). RAPP adalah pabrik pulp dan kertas Asia Pacific Resources International Holdings Ltd (APRIL) di bawah RGE Group milik Sukanto Tanoto. (Bisnis/Lahyanto Nadie)

Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri bubur kayu dan kertas mengingatkan pemerintah tren peningkatan ekspor bubur kayu ketimbang kertas akan mengganggu program hilirisasi serta meningkatkan potensi pemutusan hubungan kerja.

Rusli Tan, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), mengatakan peningkatan ekspor bubur kayu baik secara year on year maupun month to month pada Juli 2015 cerminan produsen dalam negeri tidak mampu mengekspor kertas.

“Bagi yang tidak paham peningkatan ekspor bubur kayu pada Juli 2015 senilai US$990,9 juta dari bulan yang sama tahun lalu US$951,2 juta mencerminkan kinerja positif. Padahal ini sebuah cerminan produsen tak dapat ekspor kertas karena harga yang anjlok,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (24/8/2015).

Data badan pusat statistik menunjukkan, selain peningkatan secara year on year, ekspor bubur kayu pada bulan lalu yang mencapai US$141,1 juta naik dari bulan sebelumnya senilai US$131,9 juta, terjadi peningkatan sekitar 6,5%.

Saat ini, lanjutnya, ongkos produksi bubur kayu menjadi kertas senilai US$250 per ton kertas, namun, selisih harga bubur kayu dengan kertas dunia tidak sampai US$50 dolar per ton kertas. Akibatnya, produsen kertas dalam negeri menghentikan sujumlah lini produksi.

Saat ini, utilitas pabrik kertas dalam negeri hanya tersisa 60%. Sejumlah aktivitas produksi kertas untuk sektor industri telah berhenti. Adapun mesin produksi yang masih beroperasi hanya kertas untuk keperluan masyarakat.

Menurutnya, penurunan harga kertas akibat penyusutan permintaan di pasar global yang tidak dapat disiasati oleh produsen dengan menghentikan produksi sementara. Pasalnya, penghentian produksi justru berpotensi menimbulkan kerugian yang semakin besar.

Jika kondisi ini berjalan lama, lanjutnya, tidak ada nilai tambah dari produk ekspor Indonesia. Dengan demikian, pemerintah perlu mengeluarkan insentif yang mampu menciptakan lapangan kerja serta menggenjot ekspor.

“Pemerintah harus memberdayakan industri hilir, misalnya, insentif bagi industri dengan ekspor minimal 30% dari total produksi. Kami prediksi kondisi ini akan berlangsung hingga dua tahun ke depan, dan setiap tahun dapat mengakibatkan PHK 20% dari total tenaga kerja 6 juta orang di industri kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper