Bisnis.com, JAKARTA--Bank Sentral China atau People Bank of China (PBoC) menabuh 'genderang perang' dengan mengumumkan memotong mata uang (devaluasi) yuan yang mencapai 2%.
Kebijakan PBoC terbilang tiba-tiba. Dengan devaluasi sebesar 2%, mata uang China menjadi CNY6,2298 per dolar Amerika.
Seperti dikutip data Bloomberg, devaluasi ini merupakan penurunan nilai tukar Negeri Panda terbesar sejak 1994. Padahal, pada krisis global Desember 2008, yuan hanya melemah 0,7%.
Devaluasi yuan langsung memukul bursa Eropa dengan mengawali perdagangan di zona merah pada Selasa (11/8/2015). Saham perusahaan otomotif merosot tajam terseret sentimen devaluasi yuan.
Indeks STOXX Europe 600, yang mengukur pergerakan 600 saham di berbagai bursa di Eropa, dibuka melemah 0,02% ke level 399,76. Indeks tersebut kemudian semakin tertekan ke level 397,51 pada pukul 14.48 atau turun 0,58%.
Cukup beralasan respons negatif dari bursa Eropa. Pasalnya, China merupakan pasar empuk bagi industri otomotif dan manufaktur Eropa.
Devaluasi yuan akan membuat ekspor China menjadi kompetitif. Namun, hal itu akan menyulitkan Zone Euro karena ekspor mereka menjadi tidak kompetitif, sehingga pemulihan Zona Euro semakin terganggu.
Di sisi lain kebijakan itu bisa membuat the Fed menunda kenaikan bunga. Kombinasi ini akan membuat ketidakpastian di pasar semakin berkepanjangan.
"Devaluasi yuan juga akan memukul ekspor Asia di pasar dunia. Artinya, ekspor Indonesia ke pasar dunia bisa menjadi semakin sulit karena harga barang China menjadi lebih murah," kata Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri seperti dikutip dari akun Twitter @ChatibBasri, Selasa (11/8/2015).
Penguatan ekonomi China dapat memicu kenaikan ekspor Indonesia ke China. Namun, dengan devaluasi yuan, bisa menjadi serangan balik ke Indonesia. Pasalnya, produk China sebelum dilakukan devaluasi yuan, sudah menyerbu Tanah Air.
Devaluasi yuan juga berdampak terhadap mata uang kawasan. Mata uang negara eksportir komoditas dan manufaktur ke China terancam tertekan cukup dalam ke depan.
Pada perdagangan hari ini, seluruh mata uang di regional Asia Pasifik kompak melemah. Selain yuan yang melemah 1,86% terhadap dolar AS, won menjadi yang terlemah kedua dengan melemah sebesar 1,36% menjadi 1.178 won per dolar AS.
Lalu, dolar Hong Kong yang melemah paling sedikit sebesar 0,01% menjadi 7,75 dolar Hong Kong per dolar AS. Adapun, indeks dolar AS menguat tipis sebesar 0,06% menjadi 97,21
Sementara itu, nilai tukar rupiah turun 0,42% menjadi Rp13.607 per dolar AS dengan kurs tengah Bank Indonesia (BI) Rp13.541.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyakini kondisi ini hanya akan bersifat sementara saja. Bank Indonesia melihat saat ini nilai tukar rupiah undervalued dan cukup kompetitif terhadap export manufaktur, dan mampu mendorong turis masuk ke Indonesia.
"Kami melihat bahwa saat ini rupiah undervalued. Kami juga memandang rupiah sudah cukup kompetitif terhadap export manufaktur, dan mampu mendorong turis masuk ke Indonesia," tuturnya.
Namun, Chatib Basri berpendapat, apabila tiap negara ingin mempertahankan daya saing, mereka akan melakukan competitive devaluation.
“Jika ini terjadi maka ada risiko currency war. Kalau itu terjadi maka bisa dibayangkan nilai tukar akan terus melemah dan ketidakpastian pasar terjadi. Karena itu kita harus antisipasi,” tegasnya.