Bisnis.com, LONDON--Kenaikan suku bunga dinilai berisiko bagi perbankan global setelah bertahun-tahun berada dalam lingkungan kebijakan moneter yang longgar.
Melalui laporan terbarunya, Bank for International Settlements (BIS) menekankan era pengetatan dosis suku bunga itu terutama akan berisiko jika bantalan modal yang dibangun selama ini tergerus untuk menghadapi kerugian pascakenaikan.
"Kendati terlalu lama menikmati suku bunga rendah akan memperlemah sektor finansial, normalisasi tetap menciptakan risiko baru bagi industri perbankan. Penurunan imbal hasil telah mendorong kenaikan valuasi aset beberapa tahun ini. Normalisasi berisiko memicu kerugian. Modal perbankan akan tergerus," ungkap BIS dalam kajian tahunan yang dirilis, Minggu (28/6/2015) waktu London.
Sejak hantaman krisis finansial pada 2008, perbankan telah mencatatkan banyak kemajuan terutama dalam membangun bantalan modal. Sederet bank raksasa berskala multinasional membukukan kenaikan modal inti dalam tiga tahun terakhir.
Meski demikian, BIS menilai, untuk menghadapi perubahan arah kebijakan moneter perbankan membutuhkan regulasi pengamanan ekstra. Sebelumnya, pada awal bulan ini regulator perbankan global telah membentuk instrumen yang akan memaksa perbankan menyisihkan lebih banyak uang untuk menghadapi risiko suku bunga.
"BIS juga memperingatkan perbankan harus mempertimbangkan strategi lain guna meminimalisasi risiko. Pengawas perlu secara teratur, transparan, dan meyakinkan untuk melakukan validasi estimasi risiko yang ada," ungkap BIS.
Sementara itu sejumlah investor dan analis memandang bank ritel akan lebih mudah menghadapi era suku bunga tinggi dibandingkan dengan bank investasi. Di sisi lain, perusahaan asuransi dan dana pension justru akan mereguk keutungan dari kenaikan suku bunga seiring dengan meningkatnya imbal hasil.
Pasalnya, BIS menilai selama ini kebijakan moneter ultrarendah membuat industri agresif mencari imbal hasil tinggi. Lembaga dana pension misalnya, sektor tersebut memiliki investasi sekitar 25% yang dialokasikan pada sejumlah instrumen alternatif seperti realestat, hedge funds, saham swasta, dan komoditas. Persentase investasi alternatif tersebut melambung dibandingkan dengan 2001 yang hanya sebesar 5%.
BIS juga melaporkan para pengelola aset kini menghadapi risiko guncangan pasar jelang kenaikan dosis moneter. Salah satu upaya minimalisasi risiko yang bisa diambil adalah pembatasan investasi portofolio yang rentan terombang-ambing oleh sentimen dan kondisi global.