Bisnis.com, PEKANBARU—Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyatakan dalam sepuluh tahun terakhir lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing bidang lingkungan selalu menekan pihak perusahaan, agar produk yang diekspor di tolak negara tujuan.
"LSM tekannya itu ke perusahaan, diobok-obok itu perusahaan. Karena kita ikuti aturan pemerintah dan tekanan dari luar melalui kreteria persyaratan yang mereka tetapkan. Akhirnya perusahaan harus mengikuti 2 aturan saat ini," ujar Ketua APHI Bidang Hutan Tanaman Industri (HTI), Nana Suparna, dikutip Antara Kamis (30/5).
Kondisi itu, katanya, mengakibatkan perusahaan orientasi ekspor produk unggulan seperti bubur kayu dan kertas tidak bisa melakukan efisiensi biaya karena ada dua aturan yang harus dijalankan.
Jika LSM baik lokal atau asing berniat dengan tujuan baik terhadap hasil ekpor industri kehutanan dalam negeri, maka seharusnya peraturan yang diterbitkan pemerintah harus diperbaiki.
Indonesia bisa tetap satu suara di mata dunia internasional, bila suatu aturan yang selama ini diikuti perusahaan dinilai salah oleh LSM, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memperbaiki peraturan tersebut dan jangan perusahaan yang dikejar-kejar.
"Ini Sinarmas dikejar-kejar sama Greenpeace sampai bubuhkan tandatangan, Greenpeace jadi ikut-ikutan ngatur. Waduh, kedaulatan kita sebagai negara di mana? Apa tak malu bikin kesepakatan, padahal kita punya aturan. Tetapi untungnya perusahaan lainnya tidak mau dan tegas menolak," ucapnya.
Dia tuturkan, LSM lingkungan tidak memiliki kewajiban menetapkan kriteria persyaratan supaya diikuti perusahaan bubur kayu dan kertas dalam negeri. Tetapi Greenpeace dengan jaringan internasional, bisa berteriak lantang untuk menekan para pembeli di pasar dunia.
"Jadi Greenpeace bisa ngomong di luar negeri agar jangan beli kayu dari Indonesia karena mereka kerjanya tidak benar dan malah rusak hutan, kan gitu untuk tekan perusahaan. Besar itu pengaruhnya atau kekuatan Greenpeace di dunia," terangnya.
Saat ini di Riau terdapat 2 perusahaan kertas raksasa nasional yakni PT RAPP yang kapasitas produksi sebanyak 2,6 juta ton per tahun dan PT Indah Kiat Pulp and Paper yang memiliki induk PT Asia Pulp and Paper (APP) dengan kapasitas produksi 2,3 juta ton per tahun.
"Kalau kita kerjanya baik, jangan perusahaan ditekan, tapi kebijakan pemerintah. Kalau pemerintah merasa kebijakannya benar, lawan dan jangan diikuti," beber Nana.
Soeriatanuwijaya, Juru kampanye Media Greenpeace Indonesia pernah menjelaskan terkait dengan tudingan bahwa LSM tersebut menjalin kerjasama dengan (APP), anak usaha Sinarmas bukan dilandasi kampanye hitam. Perusahaan ingin ubah perilaku dan berkomitmen pelestarian lingkungan, maka Greenpeace akan beri dukungan dan 'support' memastikan komitmen itu terimplementasi dilapangan. Tanpa perusahaan itu perlu memberi dana atau apapun, mengingat Greenpeace tidak pernah mau menerima dana dari pemerintah, partai politik atau perusahaan," jelasnya.
Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada awal Maret tahun ini mengatakan, banyak aturan tentang lingkungan dan sumber daya alam yang harus diperbaiki dan diselaraskan agar tidak saling bertentangan.
banyak aturan yang sudah diperbaiki tapi masih banyak juga yang belum disinkronkan. Karena itu hukum-hukum lingkungan dan sumber daya yang tidak sesuai zamannya harus kita disinkronkan dan ubah," katanya.