Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penerimaan Pajak: Sinyal Penahanan Restitusi Menguat

Sinyal cara lama pemerintah menahan restitusi untuk mengamankan target penerimaan pajak tahun ini menguat kendati restitusi yang dicairkan pada kuartal I/2015 cukup besar.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Sinyal cara lama pemerintah menahan restitusi untuk mengamankan target penerimaan pajak tahun ini menguat kendati restitusi yang dicairkan pada kuartal I/2015 cukup besar.

Restitusi untuk semua jenis pajak pada kuartal I/2015 tercatat Rp23,85 triliun atau meningkat hingga 48,8% dari realisasi pada periode sama tahun lalu Rp16,03 triliun.

Dari realisasi itu, restitusi terbanyak ada di pos PPN dan PPnBM yang mencapai Rp18,27 triliun atau sekitar 76% dari total realisasi. Performa ini sekaligus mencatatkan kenaikan hingga 36,2% dari realisasi kuartal I/2014 yang mencatatkan Rp13,42 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai performa itu menunjukkan adanya langkah penahanan restitusi pada tahun lalu untuk mengamankan jebloknya penerimaan pajak.

Sebagian ini carry over tahun lalu yang penyelesaiannya di-shifting ke tahun ini, ujarnya.

Seperti diketahui, penerimaan pajak (minus PPh migas) 2014 senilai Rp894,5 triliun atau hanya 90,5% dari target Rp988,5 triliun. Performa itu sekaligus mencatatkan rekor shortfall selisih antara penerimaan dan target terlebar yakni senilai Rp94 triliun.

Penerimaan yang paling anjlok yakni PPN yang hanya mencapai Rp404,7 triliun atau 85,1 dari pagu Rp475,6 triliun.

Lemahnya realisasi PPN, menurut Menkeu Bambang sangat dipengaruhi adanya kenaikan restitusi yang tinggi. Menurutnya ada juga restitusi bodong yang seharusnya tidak dibayar pemerintah karena faktur pajak fiktif.

Restitusi adalah pengembalian penerimaan pajak dari negara kepada wajib pajak apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Artinya, jika ada pengajuan restitusi yang tidak dicairkan, biasanya dihitung dalam penerimaan negara.

Kinerja yang buruk tahun lalu, sambung Prastowo, membuat pemerintah menahan pencairan restitusi yang diajukan. Dari hasil kajiannya, penahanan cukup banyak berada di large tax office / LTO pada pos pengembalian pendahuluan PPN.

Namun, saat dimintai keterangan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Mekar Satria Utama mengatakan tingginya restitusi awal tahun ini dikarenakan ada percepatan penyelesaian proses untuk wajib pajak (WP) patuh.

Faktornya karena percepatan penyelesaian proses restitusi melalui mekanisme WP Patuh, katanya.

Untuk pengajuan dan proyeksi tahun ini, Mekar belum bisa menyampaikannya. Menurutnya, data yang lebih valid akan terlihat setelah Juni atau akhir semester I tahun ini.

Sinyal Penahanan

Tingginya restitusi awal tahun ini, menurut Prastowo, belum tentu akan berlanjut hingga akhir tahun.

Pasalnya, dengan target penerimaan pajak nonmigas yang cukup tinggi tahun ini Rp1.244,7 triliun di tengah kinerja yang belum terlalu bagus, lanjutnya, akan ada potensi penahanan restitusi dalam jumlah besar.

Sinyal itu terlihat dari penunjukkan sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 37/PMK.03/2015 tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu Untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya.

Kewajiban untuk 23 BUMN yang berlaku mulai awal bulan ini dinilai sebagai wujud kemunduran jika ditinjau dari perbaikan sistem administrasi PPN karena mekanisme normal tidak diberlakukan.

Dulu 2003 dicabut lalu hidup lagi 2012. Secara praktis jika memang ini aturannya akan mengamankan penerimaan pajak, tapi menjadi tidak adil bagi rekanan BUMN, katanya.

Ketidakadilan tersebut, sambungnya, akan menyentuh dari sisi cashflow. Dia mencontohkan, jika rekanan BUMN membeli Rp1.000 dipungut PPN (pajak masukan) Rp100. Jika dia menjual Rp1.500, dia memungut PPN (pajak keluaran) Rp150. Akhir bulan rekanan BUMN itu hanya membayar Rp50 karena pajak Rp100 bisa dikurangkan sebagai kredit pajak dalam waktu sebulan.

Dengan skema penunjukkan BUMN ini, sambungnya, PPN Rp150 yang seharusnya dipungut oleh rekanan BUMN dianggap oleh BUMN sebagai wajib pungut. Sehingga akhir bulan, SPT rekanan wajib minus Rp100 atau kelebihan bayar Rp100 yang hanya bisa diambil melalui restitusi.

Nah, prosedur restitusi ini lama sehingga cashflow terganggu. Harusnya kembalikan ke mekanisme PPN biasa, ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper