Bisnis.com, PEKANBARU - Pelemahan harga crude palm oil (CPO) di pasar global mulai memukul petani kelapa sawit di daerah.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulher mengatakan penurunan harga CPO saat ini berbarengan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang juga menjadi faktor dalam biaya operasional petani.
"Dua momen yang bersamaan ini mulai berdampak buruk pada petani sawit lokal, karena biaya operasional meningkat diikuti harga pupuk yang juga naik," katanya, Minggu (19/4/2015).
Data Dinas Perkebunan Riau menunjukkan, harga rerata bulanan CPO pada 2015 hanya senilai US$678,5 per ton atau anjlok 20% dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu senilai US$903,4 per ton.
Di tingkat petani, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hanya senilai Rp1.500 per kilogramnya dan diperkirakan stagnan dalam beberapa pekan ke depan.
Zulher memerkirakan bertahannya harga TBS ini karena daya beli negara tujuan ekspor cenderung menurun, sedangkan produksi sawit tetap dan membuat stok melimpah.
"Produksi sawit lokal terus melimpah, harusnya pemerintah mulai memikirkan untuk menyiapkan industri turunan kelapa sawit," katanya.
Dengan membangun industri hilir, Zulher menilai produksi sawit lokal akan terserap, sehingga bisa menjaga harga jual TBS di level yang sesuai dengan biaya produksi.
Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman mengatakan pihaknya berharap peran pelaku usaha perkebunan sawit dan perusahaan pengolah CPO untuk mulai membangun industri hilir sawit.
"Sebagai pihak yang berkecimpung di industri kelapa sawit, sudah selayaknya untuk melanjutkan proses industri tersebut ke arah penghiliran," katanya.
Menurut Andi, dari ratusan pengusaha di sektor kelapa sawit tentu telah mengetahui potensi besar dari sektor penghiliran komoditas itu, seperti minyak goreng, kernel, margarin, dan beragam produk lainnya.
Pihaknya optimistis dengan pembangunan sektor hilir industri sawit, akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pasar ekspor seperti yang terjadi saat ini.