Bisnis.com, Seperti yang sudah diduga banyak kalangan, bisnis alat berat sepanjang tahun lalu tidak menggembirakan. Penjualan emiten yang berkecimpung di bisnis ini kompak merosot.
Dengan digulirkannya proyek-proyek pemerintah, bagaimana peluangnya di tahun ini?
Sara K. Lubis, Sekretaris Perusahaan PT United Tractors Tbk., tidak mampu menyembunyikan kekecewaannya saat di tanya soal kinerja penjualan alat berat di awal tahun ini. Di gadang-gadang mampu menjual 4.000 unit di 2015, ‘Komatsu’ hanya laku 519 unit sepanjang Januari-Februari. Ini merepresentasikan 12,9% dari target yang dicanangkan.
Pada periode yang sama tahun lalu, penjualan alat berat emiten berkode UNTR ini sudah mencapai 877 unit. Ini setara dengan 24,9% dari total realisasi 2014 yang mencapai 3.513 unit. Tidak heran jika pencapaian di kuartal I/2015 ini dianggap belum memenuhi target yang ditentukan sejak awal.
Sejak harga komoditas pertambangan merosot, perusahaan penjual alat berat memang langsung memutar otak mengalihkan sasaran tembak. Sektor-sektor yang sebelumnya tidak banyak dilirik mulai jadi prioritas. Diverisifikasi alat berat ke bisnis infrastruktur, perkebunan, atau kehutanan sudah mulai digalakkan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pemerintahan baru di bawah komando Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mencanangkan pembangunan infrastruktur sebagai program utamanya. Angin segar pun berhembus bagi emiten alat berat. Proyek infrastruktur jelas akan membutuhkan ketersediaan alat berat untuk merealisasikannya. Tak heran jika 2015 dianggap sebagai tahun perbaikan penjualan sektor ini.
Namun apa daya, hingga kuartal I berakhir tidak banyak proyek-proyek infrastruktur yang dieksekusi. Dana proyek yang mengandalkan anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) dan anggaran belanja dan pendapatan daerah (APBD) belum cair. Efeknya pun berantai. Target nilai kontrak perusahaan karya tidak banyak yang tercapai, sedangkan emiten alat berat seperti lesu darah.
“Penjualan memang belum sesuai target karena banyak proyek infrastruktur pemerintah yang belum jalan,” ujat Sara kepada Bisnis.
Anak usaha Grup Astra ini beruntung karena punya bisnis lain yang bisa menutupi penurunan penjualan alat berat. Meskipun penjualan Komatsu merosot, perseroan masih mampu mempertahankankan kenaikan penjualan 4% menjadi Rp51,4 triliun di 2014. Adapun laba bersih berada di level Rp5,5 triliun.
Bagaimana dengan emiten lain yang bergantung pada penjualan alat berat? Mari kita tengok kinerja PT Intraco Penta Tbk. (INTA). Sepanjang tahun lalu, pendapatan perseroan merosot 34% dari sebelumnya Rp2,57 triliun menjadi hanya Rp1,67 triliun. Khusus untuk penjualan alat berat anjlok 56% dari sebelumnya Rp1,53 triliun menjadi hanya Rp671 miliar.
Emiten lainnya yang juga merasakan penurunan tren ini adalah PT Hexindo Adiperkasa Tbk. (HEXA). Penjualan perseroan sampai akhir 2014 mencapai US$284,7 juta atau turun 16,9% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$342,8 juta. Adapun lini bisnis penjualan dan penyewaan alat berat merosot 22,8% dari sebelumnya US$198,15 juta menjadi hanya US$14893.
Imam Liyanto, Sekretaris Perusahaan Intraco Penta, mengatakan kinerja penjualan sepanjang kuartal I ini memang masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Kendati demikian, dia menilai terlalu dini untuk memprediksi penjualan tahun ini hanya dengan melihat realisasi tiga bulan pertama.
“Penjualan di kuartal I biasanya memang masih lambat,” katanya kepada Bisnis.
Seperti halnya United Tractors, INTA juga melakukan diversifikasi pasar ke sektor non-tambang. Sasaran utamanya selain infrastruktur adalah transportasi dan kehutanan. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Maklum, sektor pertambangan selama ini menjadi pangsa pasar utama Intraco Penta.
Di sektor infrastruktur, selama ini perseroan memang belum banyak menggarapnya. Ini terlihat dari porsi penjualan ke sektor tersebut yang hanya berada di kisara 5%. Tahun ini, penjual alat berat merek Volvo ini ingin meningkatkan kontribusinya hingga 10%. Mungkinkah?
Salah satu strategi yang akan ditempun INTA adalah dengan menggarap pasar ritel alat berat. Artinya, perseroan akan menyuplai kebutuhan alat berat kepada kontraktor skala kecil yang hanya membutuhkan 1 hingga 2 alat berat saja.
Bagaimana dengan harga sahamnya? Dari tiga emiten alat berat, hanya HEXA yang membukukan kenaikan pada perdagangan Senin (13/4). Saham United Tractors diperdagangkan turun 0,22% ke level Rp22.975, sedangkan saham Intraco Penta turun 1,15% ke level Rp257. Adapun saham Hexindo Adiperkasa naik 1,26% ke level Rp3.220.
Dengan upaya diversifikasi pasar yang kian giat dilakukan emiten, akankah penjualan alat berat kembali bergairah di tahun ini? Analis PT Mandiri Sekuritas Hariyanto Wijaya punya pandangan berbeda. Menurutnya, proses recovery bisnis alat berat akan tetap berat di tahun ini. Pemerintah boleh saja punya segunung proyek infrastruktur, tetapi seberapa banyak alat berat yang dibutuhkan?
“Kebutuhan jenis alat berat untuk proyek infrastruktur dan pertambangan jelas berbeda. Tahun ini saya prediksi penurunan penjualan masih berlanjut,” ujarnya kepada Bisnis.
Harianto menjelaskan, alat berat yang digunakan untuk industri pertambangan biasanya merupakan tipe premium. Hal ini karena spesifikasi yang dibutuhkan lebih tinggi ketimbang kebutuhan alat berat untuk industri lain. Pada akhirnya, harga jual alat berat ke sektor pertambangan akan jauh lebih mahal ketimbang alat berat untuk sektor industri lainnya seperti infrastruktur ataupun agribisnis. Di sisi lain, sektor konstruksi yang digadang-gadang menjadi penyelamat industri juga tidak kunjung dieksekusi.
Dalam kunjungannya ke Bursa Efek Indonesia beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi memang menjanjikan upaya untuk mempercepat dieksekusi proyek infrastruktur. Presiden bahkan mendorong lebih banyak Badan Usaha Milik Negara untuk melantai bursa agar bisa meraup dana segar untuk ekspansi. Namun, tentu masih harus ditunggu bagaimana realisasi proyek-proyek ini.
Bagi emiten alat berat, nasibnya di masa depan nampaknya akan sangat bergantung pada realisasi proyek infrastruktur pemerintah. Dengan harga komoditas yang tak kunjung membaik, tentu mustahil mengharapkan permintaan alat berat datang dari sektor pertambangan. Pertanyaaanya, kapan proyek-proyek ini akan dieksekusi?