Bisnis.com, JAKARTA – Dewan Minyak Sawit Indonesia meminta pemerintah untuk menarik dana pungutan tidak hanya untuk produsen minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) namun juga minyak inti sawit (crude palm kernel oil/CPKO) dengan biaya yang lebih besar.
Sebelumnya, pemerintah mewacanakan agar eksportir CPO dikenai pungutan US$50 per ton, sedangkan olein dikenai pungutan US$30 per ton apabila harga berada di bawah US$750 per ton. Pungutan tersebut akan dinamai CPO Supporting Fund.
Nantinya, pungutan tersebut tidak akan masuk anggaran pendapatan belanja negara (APBN) sebagai bea keluar (BK), melainkan dikembalikan ke produsen dalam bentuk subsidi bahan bakar nabati, peremajaan kebun rakyat, pendidikan petani serta penelitian dan pengembangan.
Ketua DMSI Derom Bangun mengatakan CPKO tidak termasuk dalam rencana pemerintah sebagai produk CPO yang dikenai pungutan. Padahal, apabila CPKO juga dikenai pungutan maka hilirisasi produk minyak sawit itu akan maksimal.
Selama ini, produksi CPKO berkisar 10% dari total produksi CPO setahun. Tahun lalu, produksi CPO dalam negeri mencapai 29,5 juta ton sedangkan CPKO sekitar 2,95 juta ton.
Sejak Oktober 2014, pemberlakuan bea keluar 0% untuk produk CPO dan turunannya telah merugikan industri hilir CPKO. Pasalnya, bahan baku CPKO lebih menguntungkan untuk diekspor dibandingkan digunakan di dalam negeri.
“Sebelum sudah bagus, sejak BK nol CPKO tersendat. Kalau CPKO dikenai pungutan, industri hilir lebih lancar,” katanya seperti dikutip Bisnis.com, (2/4/2015).
Menurutnya, besaran pungutan untuk CPKO seharusnya lebih besar dari yang dikenakan untuk CPO dan Olein. Soalnya, harga CPKO lebih tinggi dari harga CPO rata-rata US$1.077 per metric ton sedangkan harga CPO hanya US$665 per metric ton pada bulan lalu.
Dengan demikian, dia mengatakan hilirisasi industri CPKO akan maksimal, di sisi lain pungutan dana tersebut juga akan menguntungkan petani karena akan kembali untuk mendanai peremajaan tanaman sampai pengembangan penelitian.[]