Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

READER'S CHOICES: Lonjakan Harga Beras, Bulog, & Mafia

Musibah banjir di wilayah Jawa yang terjadi setahun lalu berbuntut panjang mendongkrak harga beras hingga 30% pada Februari 2015.
Tumpukan beras di gudang Bulog/Bisnis
Tumpukan beras di gudang Bulog/Bisnis
Bisnis.com, JAKARTA - Musibah banjir di wilayah Jawa yang terjadi setahun lalu berbuntut panjang mendongkrak harga beras hingga 30% pada Februari 2015.
 
Bagaimana bisa? Banjir yang terjadi pada Januari 2014 lalu merendam sebagian besar lahan pertanian dan menyebabkan musim panen bergeser. Sayangnya, penundaan musim panen itu tidak segera diantisipasi pemerintah dengan mengambil kebijakan strategis.
 
Kelengahan itu disempurnakan lagi dengan kebijakan mengganti pemberian beras miskin (Raskin) dengan uang tunai melalui e-money pada akhir 2014. Hal itu menyebabkan masyarakat yang biasanya mengonsumsi raskin beralih membeli beras di pasar reguler. Akibatnya, stok beras di pasaran terus menipis.
 
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel menuding ada mafia yang mencuri kesempatan dan mempermainkan harga beras.
 
Menurutnya, ada kejanggalan dalam sistem distribusi beras. Sejak Desember 2014 sampai Januari 2015, dia mengklaim, Bulog telah menggelar operasi pasar (OP) sebanyak 75.000 ton yang digelontorkan kepada pengelola pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800.
 
Seharusnya pedagang menjual kepada konsumen dengan harga Rp7.400 per kilogram. Nyatanya, harga malah naik 30%.
 
Selain itu, ada temuan delivery order (DO) yang dipesan oleh pedagang beras di Cipinang pada 1-18 Februari 2015 dengan jumlah mencapai 1.800 ton. Padahal Bulog sudah tidak melakukan operasi pasar untuk Food Station sejak 1 Februari. Ditengarai, beras lain masuk ke pasar dan diambil langsung oleh pedagang untuk dijual kepada konsumen.
 
Rahmat tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan orang dalam Bulog, karena yang bisa mengeluarkan DO untuk pedagang hanya Bulog.
 
Untuk itu, dia mengaku akan mengaudit untuk menemukan oknum yang bermain. Dia juga mengancam akan mencabut izin pelaku usaha pihak yang sengaja menimbun dan menaikkan harga beras.
 
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan menyarankan Bulog memeriksa dan menemukan oknum yang diduga memainkan harga beras. Menurut dia, para pedagang besar memiliki kemampuan yang sangat kuat untuk mengatur harga.
 
“KPPU harus bergerak untuk memeriksa praktek kartel yang terjadi,”tegasya.
 
Menurut Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu, Bulog harus mengandalkan koperasi pasar dan pedagang kecil di pasar sebagai saluran distribusi.
 
Klarifikasi Bulog
 
Terkait dugaan adanya oknum Bulog yang bermain, Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Lely Pelitasari Soebekty mengonfirmasi, pihaknya sudah menjalankan prosedur standar distribusi dengan baik.  
 
“Bagi Bulog, delivery order itu dokumen standar dan prosedural. Jadi kalau tidak ada DO malah akan salah bagi Bulog. Setiap kegiatan ada SOP-nya, kalau melanggar SOP itu akan jadi salah,”jelasnya kepada Bisnis, Rabu(11/3/2015).
 
Menurut dia, Bulog sudah menjalankan pola distribusi secara optimal dengan menyalurkan pasokan beras ke segala lini. Harapannya, tidak ada peluang bagi satu jaringan tertentu yang mendominasi dan memunculkan mafia beras.
 
“Dari pedagang besar, pedagang kecil, dan rumah tangga melalui satgas, baik dalam bentuk partai, grosir maupun eceran kami lakukan semuanya,”sebutnya.
 
Berdasarkan pasokan yang ada, stok beras masih cukup dan aman sampai 4,5 bulan ke depan dengan volume lebih dari 1 juta ton.
 
Sampai saat ini, Bulog masih menggelar OP beras murah secara serentak di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). OP beras murah dilaksanakan di 62 titik, terdiri dari 52 titik wilayah pemukiman dan 12 pasar strategis.
 
Beras dikemas dalam jumlah 5 Kg dengan harga per Kg Rp7.400 untuk kualitas medium dan Rp9.000 untuk kualitas premium.
 
Saat ini, Bulog menunggu putusan perubahan harga pokok penjualan (HPP) gabah dan beras oleh pemerintah. Kinerja Bulog akan sangat bergantung pada level HPP yang dipatok eksekutif. Pasalnya, hasil panen bisa diserap oleh Bulog kalau harganya sesuai.
 
Jika HPP tidak beranjak, maka Bulog akan kesulitan mendapat pasokan beras dari petani. Produsen tentu akan lebih memilih menjual hasil produksinya ke pedagang langsung yang menawar harga lebih tinggi. Dengan begitu, kemampuan Bulog menjaga pasokan semakin rendah.
  
“Dengan HPP yang masih seperti 3 tahun lalu, berat bagi Bulog untuk mendapatkan gabah dan beras, petani lebih baik menjual ke pedagang atau distributor lain,”jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper