Bisnis.com, PEKANBARU—Kalangan pengusahan hutan nasional menduga negara pesaing melakukan manuver untuk menjatuhkan industri kehutanan nasional melalui kampanye yang mendiskreditkan industri berbasis kayu tanaman di Indonesia.
Dugaan itu berasal dari penggunaan data dan laporan secara berseri mengenai kehutanan namun dengan menggunakan data yang tidak tepat.
Ketua Bidang Hutan Tanaman Indonesia (HTI) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menjelaskan saat ini industri kayu berbasis hutan tanaman Indonesia mulai bangkit. Namun, kemudian dimunculkan isu kesenjangan pasokan kayu bulat dengan produksi kayu olahan yang mengarah kepada pembatasan kapasitas industri bubur kayu dan kertas nasional.
“Isu tersebut harus dilihat dalam kacamata lain. Pengalaman rontoknya industri kayu Indonesia di masa lalu bisa menjadi pelajaran,” katanya dalam keterangan resmi yang diperoleh Bisnis.com, hari ini (10/3).
Nana menyoroti dirilisnya penelitian Forest Trends berjudul“Indonesia’s Legal Timber Supply Gap and Implication for Expansion of Milling Capacity, pada akhir Februari lalu.
Menurut Nana, pada periode 1990-2000 ketika terjadi banyak kasus pembalakan liar, Negara tertentu juga membiayai penelitian yang hasilnya menuding industri pengolahan sebagai penyebab.
Kapasitas industri pengolahan kayu pun diusulkan untuk dipangkas. Dampaknya, produk kayu panel dan pertukangan Indonesia rontok di pasar global kalah dari negara yang hanya memiliki sumber daya hutan sedikit. Padahal, Indonesia sebelumnya menguasai pasar global. Dampak lanjutannya adalah terjengkangnya usaha kehutanan di hulu (HPH).
“Pada 1992 HPH di Indonesia ada 580 unit, namun saat ini hanya tersisa 273 unit, itupun hanya 43% yang aktif. Sehingga jika pada tahun 1992 produksi log Indonsia 26 juta m3, namun dalam 5 tahun terakhir ini hanya sekitar 4 juta meter kubik per tahun,” ujar Nana.
Dia mengingatkan berhentinya kegiatan HPH dalam pengelolaan hutan alam, membuat kawasan hutan produksi yang telantar semakin banyak. Hal itu memicu maraknya pembalakan liar dan perambahan hutan. Akibat lebih lanjut adalah laju degradasi hutan dan deforestasi yang semakin cepat.
Nana mengatakan jika Negara yang mendanai kajian bertujuan baik, tidak selayaknya serial waktu yang digunakan tidak borongan, dari tahun 1991 sampai 2014. Pasalnya pada rentang waktu tersebut, kondisi politik, ekonomi dan sosial, khususnya terkait dengan bisnis kehutanan mengalami 3 periode yang sangat berbeda. Yaitu periode Orba (1991– 1998), masa transisi (1999 – 2004) dan periode reformasi/otonomi (2004 – 2014).
Menurut Nana, untuk pengambilan kebijakan ke depan akan lebih tepat menggunakan jika time series yang dimanfaatkan pada periode 2004–2014. “Penggunaan periode waktu 1991– 2014,seolah-olah hanya untuk membesar-besarkan persoalan kesenjangan pasokan kayu bulat,” katanya.
Negara donor ingin membantu bisnis kehutanan Indonesia yang berkelanjutan, maka penelitian yang dibutuhkan adalah yang mengurai persoalan komprehensif industri kehutanan dan dukungan untuk memenuhi prinsip kelestarian.
“Jadi akan ketahuan apa saja yang perlu diperbaiki dan dicari solusinya melalui perbaikan kebijakan dan regulasi secara komprehensif dan mendasar,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) juga memastikan industriberbasis kayu yang beroperasi secara resmi hanya menggunakan bahan baku kayu dari sumber yang resmi.