Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia pesimistis aktivitas produksi melampaui 8 miliar unit pada 2015, keterbatasan energi menjadi penghambat pertumbuhan kinerja industri.
Ketua Umum Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia (ASTA) Ahmad Safiun mengatakan keberadaan industri bertumbuh tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas energi, baik gas maupun listrik.
Produsen industri sarung tangan karet yang terpusat di Sumatra Utara, harus gulung tikar karena selalu merugi.
“Kinerjanya tidak banyak berubah seperti tahun lalu, padahal kami sempat mematok angka tinggi tahun lalu. Merosotnya produksi tahunan, akan membuka peluang produk impor semakin berkuasa di pasar nasional,” tuturnya kepada Bisnis.com, Senin (9/2).
Selain permasalahan energi, bahan baku juga menjadi persoalan lain. Dia mengatakan walaupun Indonesia salah satu negara penghasil karet besar dunia, keberpihakannya pada pengembangan industrinya tidak terlihat.
“Padahal industri sarung tangan ini mampu menyerap karet alam hingga 97% itu sangat baik, harus didukung. Akan tetapi dukungannya tidak terlihat, misalnya saja mengenai pengiriman bahan baku, jika dari Jakarta ongkosnya Rp14 juta per kontainer sedangkan dari Bangkok hanya Rp7 juta,” katanya.
Bukan hal yang mustahil, menurutnya, dalam beberapa tahun ke depan kinerja industri sarung tangan karet akan disalip oleh Vietnam dan Myanmar. Pasalnya, negara tersebut tampak serius mengembangkan perkebunan karet hingg industri hilirnya.