Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Perindustrian meminta ekspor kakao dikenakan bea keluar rata alias flat sebesar 15% untuk meredam nafsu ekspor petani.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Panggah Susanto mengatakan bea keluar biji kakao kini tidak dipatok pada satu angka melainkan bervariasi antara 5% - 15%. Walhasil beban dalam menjual keluar negeri relatif lebih ringan ketimbang menyuplai ke industri pengolahan lokal.
Ketika harga komoditas sedang rendah maka ekspor lebih menggiurkan karena pasokan ke dalam negeri mesti kena pajak pertambahan nilai (PPN) 10% untuk produk pertanian. Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah, tentu lebih untung jika menjual ke luar yang notabene pakai dolar.
“Jadi kami ingin bea keluar flat 15%, penjumlahan dari [beban suplai ke dalam negeri] kena PPN 10% dan ada bea masuk 5%,” tutur Panggah.
Keberpihakan terhadap ekspor juga terdorong fasilitas bea masuk 0% dari Uni Eropa untuk biji kakao saja. Kakao olahan justru mendapat perlakuan tak adil (unfair treatment) karena mesti bayar bea 7,7% - 9,6%. Negara lain, misalnya Afrika, bea masuk kakao olahannya 0%.
Perindustrian merekomendasikan dua hal, penyamarataan bea keluar biji kakao dan pemangkasan bea masuk kakao olahan di Eropa jadi 0%. Kemenperin meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengupayakan fair trade dan treatment terkait ekspor kakao ini.
Selama Januari – Oktober tahun lalu terjadi kenaikan impor biji kakao lantaran industri pengolahan kekurangan bahan baku. Pembelian dari luar negeri dilakukan untuk mengimbangi peningkatan kapasitas produksi industri pengolahan.
Mengutip data Kemenperin, pada kurun waktu tersebut diimpor 80.546 ton biji kakao setara US$245,94 juta. Sebagai perbandingan pada 2010 impor hanya 24.831 ton sama dengan US$89,50 juta. Adapun kenaikan ruang produksi sepanjang 2010 – 2014 mencapai 218% menjadi 478.000 ton per tahun.
“Sekarang utilisasi produksi baru 59,4%, rendah karena bahan baku banyak diekspor. Kami harap ada fair trade dan fair treatment untuk [industri pengolahan] kakao,” ucap Panggah.
Secara umum perdagangan biji kakao pada Januari – Oktober 2014 mengalami defisit secara volume sebanyak 23.199 ton. Tapi perdagangan kakao olahan surplus sebanyak 189.068 ton.