Bisnis.com, JAKARTA — Guna meningkatkan penghiliran biji kakao, pebisnis menginginkan hal yang sama seperti Kemenperin berupa penetapan bea keluarsecara rata (flat tariff) sebesar 15%.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengatakan persentase tersebut diharapkan dapat meredam minat ekspor biji kakao karena petani merasakan beban yang sama dengan impor biji kakao.
“Sekarang tarif bea keluar sekitar 10%, sedangkan saat impor kena PPN 10% dan bea masuk 5% totalnya 15%. Atas dasar itu kami usulkan flat tariff 15% supaya sama antara yang diekspor dan diimpor,” ucap Sindra, di Jakarta, Kamis (12/3/2015).
Beban ekspor biji kakao lebih besar diharapkan bisa merangsang minat petani untuk menyuplai ke industri pengolahan domestik. AIKI berharap ekspor biji kakao sekitar 63.000 pada tahun lalu bisa seluruhnya diolah di dalam negeri.
Ketika harga komoditas sedang rendah maka ekspor lebih menggiurkan karena pasokan ke dalam negeri. Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin lemah, tentu lebih untung jika menjualnya ke luar negeri.
Keberpihakan terhadap ekspor juga terdorong fasilitas bea masuk 0% dari Uni Eropa untuk biji kakao saja. Kakao olahan justru mendapat perlakuan tak adil (unfair treatment) karena mesti bayar bea 7,7% - 9,6%. Negara lain, misalnya Afrika, bea masuk kakao olahannya 0%.