Bisnis.com, SEMARANG – Para pengrajin batik tulis dan cetak di Kota Semarang mengalami penurunan omset hingga 50% per bulan dengan tingginya peredaran produk tekstil impor bermotif batik.
Eko Hariyanto, Koordinator Koperasi Perajin Batik Semarang Sekar Arum, menuturkan sejak mulai dihidupkan kembali pada 2006 kerajinan tradisional tersebut cukup bertumbuh.
Dia menuturkan industri kecil yang dikembangkannya pada 2009-2010 mampu menghasilkan 1.000 potong untuk dipasarkan ke sejumlah konsumen, baik dalam dan luar negeri.
Jumlah tersebut terus meningkat seiring ditetapkannya kerajiban batik tulis dan dan cetak sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
“Bervariatif, tapi produksi terus bertumbuh terus,” ujarnya saat ditemui Bisnis, Kamis (15/1/2015).
Namun, kata Eko, pertumbuhan kerajinan batik Semarang mulai tergerus oleh ekspansi produk tekstil bermotif batik pada sejak 2012.
Menurutnya, omset para pengrajin batik tulis dan cetak bahkan bisa menurun hingga 50%.
“Masalahnya seringkali produk tersebut diperjualbelikan dengan mengaku sebagai batik tulis dan cetak. Itu bukan batik,” ungkap Eko.
Padahal, lanjutnya, pendapatan para pengrajin itu berbeda-beda, mulai dari Rp2 juta-Rp3 juta per bulan hiungga Rp50 juta per bulan.
Karena itu, dia menuturkan pihaknya mendukung pemerintah untuk merealisasikan kebijakan pembatasan impor produk tekstil bermotif batik.
“Sebab tidak hanya mematikan usaha, tetapi juga bisa menghilangkan tradisi yang sudah diakui dunia,” tegasnya.