Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penerapan PP Gambut Bakal Rumit

Penerapan PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) dipastikan bakal rumit karena banyaknya kawasan gambut yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan perkotaan, dan kawasan lainnya.

Bisnis.com, PEKANBARU-- Penerapan PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut) dipastikan bakal rumit karena banyaknya kawasan gambut yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan perkotaan, dan kawasan lainnya.

Pakar gambut IPB yang juga anggota Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Basuki Sumawinata mengungkapkan lahan gambut seperti di pesisir Sumatera Selatan dan Jambi adalah lokasi  transmigrasi yang berkembang dengan baik. Masyarakat di sana membudidayakan hortikultura dan
perkebunan. 

“Lantas setelah berlaku PP gambut, apa mereka mau diusir?,” katanya dalam rilis yang diterima Bisnis.com, (21/12)

Basuki juga menyatakan, pada lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare yang dulu terbengkalai pun, kini banyak dikelola dengan baik oleh masyarakat dalam bentuk perkebunan kelapa sawit. Jadi, kata dia, tidak adil jika tiba-tiba pemerintah mengharuskan mereka pergi dari
lahan yang menjadi penghidupannya selama ini.

PP Gambut diterbitkan pemerintah pada September lalu. Berdasarkan ketentuan tersebut sekitar 30% dari kawasan hirologis gambut langsung ditetapkan sebagai fungsi lindung, yang terlarang untuk kegiatan budidaya. Sementara pada lahan yang difungsikan sebagai areal budidaya, ditetapkan muka air gambut paling rendah 0,4 meter.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyatakan, pembatasan muka air gambut itu malah akan merendam akar dan mematikan tanaman akasia yang dikembangkan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Hal itu berarti PP Gambut akan menghentikan operasional sedikitnya 69 pemegang izin. 

"Maka hal itu akan berdampak kepada sedikitnya 300.000 tenaga kerja langsung yang menggantungkan hidupnya di sana," kata dia.


Dia juga mengingatkan, pemerintah harus siap untuk kehilangan devisa ekspor sekitar US$6 miliar dari komoditas pulp dan kertas, yang selama ini mendapat pasokan bahan baku berkelanjutan dari IUPHHK di lahan gambut. Nana juga mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk mengelola lahan jika akhirnya para pemegang izin berhenti beroperasi.


Apalagi kenyataan membuktikan kawasan hutan yang termasuk dalam kebijakan moratorium izin justru mengalami degradasi dan deforestasi lebih cepat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper