Bisnis.com, JAKARTA – Upaya diversifikasi pangan guna mengurangi ketergantungan impor beras menemui tantangan dari kemungkinan terjadinya jebakan pangan atau food trap yang mengintai.
Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang Pertanian Hermanto mengatakan berdasarkan data Susenas, konsumsi beras masyarakat terhitung menurun, namun tren menunjukan konsumsi tersebut berpindah ke komoditas terigu yang 100% pemenuhannya melalui importasi.
“Konsumsi beras sudah menurun karena peningkatan daya beli masyarakat, tetapi konsumsi terigu meningkat. Kita takut masuk ke dalam food trap, di mana kita negara besar malah mengimpor bahan pokoknya dari luar negeri,” Katanya dalam diskusi Aneka Ragam Pangan dan Pertumbuhan Penduduk : Peran Sumber Pangan Non-Beras, di Jakarta, Kamis, (23/10).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Badan Ketahanan Pangan, konsumsi beras terus menurun sejak 2005 dari 105,3 kg/kapita/tahun menjadi 102,82 kg/kapita/tahun pada 2011. Sementara itu, tren konsumsi terigu sejak 2005 naik dari 8,4 kg/kapita/ tahun menjadi 10,92 kg/kapita/tahun pada 2011.
Adapun, konsumsi umbi-umbian terus turun dari 21,9 kg/kapita/ tahun pada 2005 menjadi 14,61 kg/kapita/tahun pada 2011.
“Padahal kita mengharapkan umbi-umbian (ubi jalar, jagung, sagu) dapat terus digali potensinya untuk menggantikan beras,” katanya.
Meski demikian, konsumsi beras Indonesia terpantau sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lainnya.Dia menjelaskan rata-rata konsumsi dunia hanya 60 kg/kapita/tahun. Perbandingan negara lain, Korea Selatan tercatat 40 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun dan Malaysia 80 kg/kapita/tahun.
Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Sri Sulihanti mengatakan saat ini memang sulit untuk mengembalikan pola komposisi bahan pangan pada tahun 1950 yang 50% berupa beras dan 50% berupa umbi-umbian dan biji-bijian.
“Sekarang saja kalau dipetakan 95% masyarakat mengkonsumsi beras, dan 5% lainnya mengkonsumsi beras. Kita harus mengubah pola ini setidaknya seperti dulu,” katanya.
Pasalnya, dia mengatakan ketahanan pangan akan sangat menentukan konsumsi dan gizi dari masyarakat pada tahun-tahun mendatang. Dia khawatir akan terjadi adanya kelangkaan pangan jika kita terus mengimpor bahan baku, sementara negara yang bersangkutan tidak bisa terus menjamin ketersediaan.
Dengan mengkonsumsi ubi jalar, jagung dan sagu untuk menggantikan beras, dia mengatakan hal tersebut dapat menjadi langkah antisipatif kelangkaan pangan dan menjadi solusi ketergantungan impor selama ini.
“Sebenarnya dari teknologi pun sudah tidak ada masalah. Bisa dibuat mie, beras analog, dari cassava itu menjadi mokaf, tepungnya bisa digunakan untuk membuat apapun sudah tidak ada masalah,”katanya.