Bisnis.com, PEKANBARU: Peraturan pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP gambut) perlu diperbaiki dengan mempertimbangkan kajian ilmiah dan keterlibatan semua pemangku kepentingan.
Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham menjelaskan salah satu ketentuan yang perlu direvisi adalah soal pembatasan muka air paling rendah 0,4 meter dari permukaan. Ketentuan itu, kata dia, sangat rancu karena bergantung pada curah hujan.
"Sulit untuk menetapkan ketinggian muka air secara mutlak. Seharusnya penetapan ketinggian ditetapkan secara kisaran (range) agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis.com, (14/10).
Pengukuran kedalaman juga dilakukan dengan menggunakan pada beberapa titik dan diambil nilai rata-ratanya. Pengukuran pun harus dilakukan pada musim panas dan musim kering agar hasilnya akurat. Supiandi menambahkan, persoalan kebakaran pada prinsipnya tidak berkorelasi dengan kebakaran hutan. Kebakaran hutan lebih disebabkan faktor sosial. Itu yang perlu dicari jalan keluarnya.
Pakar gambut lainnya Azwar Maas juga menegaskan, yang terpenting dalam pengelolaan gambut sebenarnya bukanlah soal tinggi rendahnya muka air. Melainkan kepastian gambut tetap terjaga kelembabannya. "Gambut yang lembab mencegah dari kebakaran," katanya.
Azwar juga menyatakan lahan gambut yang dalam sebenarnya masih bisa dimanfaatkan tergantung sejumlah faktor seperti lokasi, jenis komoditas, dan pengelolaannya. Dia mencontohkan kegiatan budidaya padi di Tembilahan, Sumatera Selatan yang tetap produktif meski dilakuoam pada gambut dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Azwar sendiri menekankan pentingnya menjaga ekosistem gambut agar tetap berkelanjutan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna mengatakan jika PP tentang Gambut ini diterapkan maka semua HTI di gambut secara otomatis akan menghentikan kegiatannya. Potensi kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar mencapai Rp103 Triliun per daur tanam. Kematian juga mengancam industri hilir pengguna bahan baku kayu HTI. PHK besar-besaran pun akan terjadi.
Nana menyebutkan, saat ini saja HTI yang terhenti operasionalnya karena berbagai kendala ekonomi seperti konflik lahan, regulasi tumpang tindih termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan unit. Ia memprediksi dengan berlakunya RPP gambut, HTI yang aktif akan berkurang lagi, menjadi 27% dari 45% yang kini aktif, karena 60% dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut.
“Lalu ada kerugian dari devisa yang hilang bersumber dari pendapatan pulp dan kertas sebesar 5,4 miliar dolar AS per tahun dari total produksi 16,8 juta ton, yang selama ini memanfaatkan bahan baku dari HTI. Akan terjadi PHK besar-besaran, sekitar 300.000 tenaga kerja langsung di sektor ini,” jelasnya.