Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian menyatakan harus dilakukan pemetaan lebih lanjut terhadap 12 pos tarif utama kertas impor yang dituding merugikan industri hulu.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Pranata berpendapat belum tentu seluruh kertas impor dalam 12 pos tarif adalah kertas karton berlapis. Oleh karena itu diperlukan pemetaan lebih lanjut untuk menelaah turunan setiap pos tarif.
"Dari yang dicurigai KPPI 12 HS [pos tarif] itu belum tentu coated paper, bisa jadi HS lain ikut masuk," katanya, Senin (13/10/2014).
Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) melakukan penyidikan terhadap dugaan lonjakan impor kertas dan kertas karton sejak Juni 2014.
Pembelian dari luar negeri ini ditengarai merugikan pelaku industri di sektor hulu.
Permohonan penyidikan diajukan Asia Pulp & Paper (APP) pada 26 Mei 2014.
Korporasi kertas ini meminta diberlakukan pengaman usaha (safeguard).
Usulan ini merujuk kepada tren meningkatnya impor kertas dan kertas karton berlapis (coated paper).
Kertas karton berlapis buatan luar negeri banyak diminati produsen karena lebih murah.
Contohnya, setiap ton coated paper impor dijual US$740 sedangkan produk buatan domestik dibanderol US$900 per ton.
"Masing-masing pelaku industri harus mencari data yang sebenarnya. Setelah terkumpul, kami [Kemenperin, hulu dan hilir kertas] akan bertemu lagi sambil membicarakan harga secara B to B agar pas," ucap Pranata.
Mediasi yang dilakukan Perindustrian mengarah agar masalah ini bisa selesai di business to business sehingga tak perlu diberlakukan safeguard. Pasalnya tujuan utama pengembangan industri nasional ialah mewujudkan pengolahan di dalam negeri.
Guna merealisasikan penghiliran industri maka sektor hulu dan hilir harus bersinergi.
Pengusaha di sisi hilir membutuhkan ketersediaan bahan baku dari hulu. Tapi bahan baku lokal akan ditinggalkan manakala harga produk impor lebih ekonomis.
Persaingan bisnis yang sehat antarprodusen kertas karton berlapis melahirkan harga jual yang kompetitif.
Tapi, posisi APP sebagai produsen tunggal coated paper di Indonesia membuat perusahaan leluasa menetapkan harga meskipun bagi hilir terlalu mahal.
"Untuk bisa berkembang industri bahan baku harus tersedia dan bisnis penggunanya juga berjalan. Target saya hilirisasi berjalan, semua berkembang," ucap Pranata.
Keputusan akhir permohonan pemberlakuan pengaman bisnis yang diajukan APP merupakan kewenangan Kementerian Keuangan.
Pebisnis hilir seperti pedagang kertas, perusahaan percetakan dan converting yang pasti menolak jika kertas impor dikenakan bea masuk.
APP mengeluhkan peningkatan volume impor kertas karton berlapis impor meskipun rupiah terdepresiasi sejak pertengahan 2013.
Industri hilir menilai semestinya dalam kondisi itu APP dapat menawarkan harga yang kompetitif bagi pengusaha.
Biaya produksi kertas lokal sekitar US$260 atau lebih murah daripada kertas impor yang sedikitnya US$460.
Tanaman bahan baku kertas di Indonesia juga lebih subur daripada Eropa, tetapi kenyataannya harga jual lokal lebih mahal ketimbang produk impor.
Presiden Persatuan Pengusaha Grafika Indonesia (PPGI) Jimmy Juneanto menegaskan pihaknya menolak pengaman bisnis yang dimohonkan APP.
Pihaknya juga menilai perlu diperjelas turunan 12 pos tarif kertas karton berlapis impor yang diselidiki KPPI.
"Kalau yang diminta APP seluruh 12 pos tarif utama coated paper itu terlalu luas. Kalau berikut turunannya bisa mencapai 50 lebih," ucap dia.
Dari sejumlah pos tarif kertas karton berlapis tersebut tidak semua diproduksi Asia Pulp & Paper.
Jimmy mencontohkan kertas light coated yang tidak ada di dalam negeri, sehingga produsen majalah harus mengimpor.
Konsumen kertas, seperti usaha kecil menengah (IKM) percetakan dan converting membutuhkan kertas dengan harga ekonomis.
Mereka sendiri harus menjual produknya dengan harga terjangkau oleh konsumen, sehingga bisnis kompetitif di domestik dan ekspor.
"Bagaimana kami bisa ekspor produk cetakan kalau harga ketas mereka (APP) di dalam negeri lebih mahal daripada di luar negeri, selisihnya lebih murah 4% sampai 7% di luar PPN," ujar Jimmy.
Dibandingkan negara Asean lain yang membebaskan bea masuk kertas impor, ekspor produk kertas cetakan RI pada tahun lalu jauh lebih kecil.
Thailand membukukan sekitar US$1,60 miliar, sedangkan Indonesia cuma US$266 juta.
Dengan asumsi harga kertas US$1.000 per ton maka nilai ekspor tersebut setara dengan 266.000 ton.
Porsi produksi sektor hilir kertas setara 60% total kapasitas produksi industri kertas nasional yang berjumlah 13 juta ton per tahun.
Porsi domestik dan ekspor sekitar 60: 40.