Bisnis.com, JAKARTA — Kebutuhan kereta api dan produktivitas industri manufaktur kereta api di Indonesia ibarat lebih besar pasak daripada tiang.
Kuantitas yang mampu dihasilkan pemanufaktur domestik dalam hal ini PT INKA tak sebanding dengan kebutuhan armada. Walhasil penyelenggara sarana dan prasarana kereta api (KA), seperti PT Kereta Api Indonesia (Persero), membeli dari luar negeri.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyadari minimnya produktivitas manufaktur ular besi di Indonesia. Adapun beberapa faktor yang membelit ialah keterbatasan ruang produksi dan permodalan karena sulit mendapat pendanaan.
Direktur Industri Alat Transportasi Darat Kemenperin Soerjono menyatakan pada Agustus 2014 pihaknya melakukan tinjauan terhadap industri manufaktur KA di Negeri Kanguru. Perindustrian berharap ke depan dapat menjalin kerja sama RI-Australia di sektor tersebut. "Kemungkinan kami akan meminta bantuan dari Australia dari segi finansial untuk mengembangkan network kereta api di Indonesia, sehingga kita tidak perlu beli dari luar negeri," katanya kepada Bisnis, Selasa (7/10/2014).
Pertemuan dengan pemanufaktur KA di Australia tersebut memang tak langsung kesepakatan pendanaan senilai tertentu untuk INKA. Kemenperin menginginkan ada pembicaraan lebih lanjut pada bulan atau tahun-tahun mendatang.
Pada dasarnya Negeri Garuda mengharapkan kemitraan dengan negara lain yang sektor manufaktur keretanya lebih mumpuni. Bukan sebatas transfer teknologi tetapi juga perlu ada kooperasi dari segi permodalan bagi pemanufaktur KA di Tanah Air.
"Sasaran saya agar bisa ada kemandirian di Indonesia, pembangunan KA di sini. Saya harap [investor asing] mau bermitra dengan INKA dan memanufaktur kereta Indonesia atau kerja sama pendanaan dan teknologi untuk INKA," ucap Soerjono.
Pada sisi lain Perindustrian juga menginginkan pembeli kereta api menetapkan proyeksi kebutuhan jangka menengah agar pemanufaktur dapat memenuhi permintaan. Ini bertujuan agar pembelian KA tidak "mendadak".