Bisnis.com, JAKARTA--Belum sepakatnya pemerintah terkait besaran persentase upah pekerja untuk tabungan perumahan rakyat, membuat pembahasan RUU Tapera batal disahkan dalam rapat paripurna DPR.
Sejatinya, pembahasan Rancangan Undang Undang Tabungan Perumahan Rakyat masuk dalam agenda pengesahan di rapat paripurna DPR, Senin (29/9/2013). Melalui pembahasan dalam rapat panitia khusus yang digelar sebelumnya, pemerintah meminta pembahasan ditunda dan dilanjutkan pada masa pemerintahan periode selanjutnya.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan belum ada kesepakatan internal dari pemerintah tentang hal itu.
Dia menghitung terdapat beban fiskal yang sangat tinggi dengan asumsi pekerja wajib menabung 2,5% dari penghasilannya untuk tapera, dan pemberi kerja berkontribusi 0,5%.
"Besaran persentase ini tidak bisa disebut dalam PP (peraturan pemerintah). Dalam UUD jelas disebutkan bahwa pajak atau pungutan yang sifatnya memaksa harus disebutkan dalam UU," ungkapnya kepada Bisnis usai menghadiri Rapat Pansus RUU Tapera, Senin (29/9/2014).
Pemerintah menghitung negara harus mengalokasikan Rp1.420 triliun dalam kurun waktu 20 tahun, atau rata-rata Rp71 triliun setiap tahunnya untuk mendukung tapera. Di sisi lain, besaran 3% dari upah dianggap tidak akan berjalan efektif, karena waktu yang dibutuhkan untuk memiliki rumah mencapai 21 tahun.
Di negara lain, menurut Chatib, nilai tabungan baru efektif dalam membantu masyarakat untuk memiliki rumah, jika pekerja mampu mengalokasikan dana hingga 20% dari upah. Dengan begitu, pekerja dapat memiliki rumah dalam kurun waktu 10 tahun.
"Mestinya itu 20%. Tapi apa masyarakat mau gajinya semua dipotong untuk kebutuhan pembelian rumah? Kan tidak mungkin. Anggaran lain juga tidak bisa dipotong begitu saja. Karena itu kita harus kaji kembali, mencari solusinya," tuturnya