Bisnis.com, JAKARTA—Industri pulp dan kertas domestik pasang kuda-kuda mengantisipasi pelemahan bisnis domestik terpengaruh iklim bisnis global. Produsen di dalam negeri bersiap banting harga 10% - 20%.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan mengatakan geliat pasar domestik tertekan di bawah bayang depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang semakin dalam, serta pelemahan ekonomi negara maju.
Kendati perekonomian Amerika Serikat dan Eropa yang sedang tidak prima, arus ekspor kertas dari China tak menyusut. Negeri Tirai Bambu tetap tancap gas, sehingga pasar negara berkembang seperti Indonesia bersiap jadi korban.
“Market yang disuplai China sedang lemah, seperti AS dan Eropa. Jadi China buang produknya ke Indonesia dengan harga lebih murah daripada produk lokal,” kata Rusli saat dihubungi Bisnis, Selasa (23/9/2014).
Indonesia dibidik sebagai pasar alternatif lantaran tren konsumsi domestik meningkat. Kondisi ini terpengaruh sentiment positif dunia usaha terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Sementara itu geliat pasar di negara Asean lain tidak sekencang RI.
Pada kenyataannya kertas impor tetap leluasa masuk ke Indonesia. Harga jual yang lebih murah mendorong produk lokal ke ujung tanduk. Walhasil produsen kertas di Tanah Air mempertahankan pasar dengan menurunkan harga jual setara dengan produk impor.
Kertas impor lebih murah sekitar 5%-10% dibandingkan produk domestik. Pada akhirnya harga kertas buatan dalam negeri merosot ke level yang sama bahkan lebih murah, harga bisa anjlok hingga 20%. Bersamaan dengan itu produsen kertas pun tak bisa berharap banyak dari penjualan ke luar negeri.