Bisnis.com, JAKARTA -- Puncak bonus demografi pada 2020-2025 akan menjadi bencana jika tidak ada jalan keluar dari stagnasi sektor manufaktur yang sudah berlangsung hampir dua dekade.
Transformasi -- lembaga kajian kebijakan publik di bawah Rajawali Foundation -- melihat pengembangan sektor manufaktur menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Senior Advisor Transformasi Bidang Kebijakan Publik Sarwono Kusumaatmadja mengatakan pemerintahan baru harus menyiapkan jalan keluar mengingat sektor ini sangat krusial dalam penyerapan tenaga kerja.
"Dengan komposisi penduduk 70% usia kerja, dibutuhkan lapangan kerja baru yang sangat besar. Jika tidak, bonus demografi akan menjadi beban demografi,” katanya dalam siaran pers, Minggu (21/9/2014).
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dan sejumlah jabatan menteri ini berpendapat manufaktur sangat penting bagi Pemerintahan Jokowi-JK.
Tidak hanya menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, sektor ini penting untuk memperkuat basis legitimasi politik Jokowi-JK karena ekspektasi publik yang sangat tinggi.
Dalam kajian Transformasi, sejak 1995 hingga 2013, sektor manufaktur Indonesia relatif tumbuh 0%.
Performa itu sangat berbeda dengan pencapaian beberapa negara di Asia, seperti India yang tumbuh 169%, Tiongkok 446%, dan Vietnam 1.397%.
Bahkan, Bangladesh yang selama ini lekat dengan citra sebagai negara miskin, memiliki pertumbuhan manufaktur 202%.
Sebaliknya, Indonesia justru menciptakan hambatan kepada investasi yang ingin masuk.
Situasi itu berbeda dengan beberapa negara di kawasan, seperti Malaysia, Taiwan, dan Filipina, yang aktif menarik investor di industri-industri penting.
Sejak 1990 pula, industri manufaktur Indonesia masih sangat berorientasi ke pasar domestik, bergantung sangat dalam kepada impor barang setengah jadi, serta ekspor komoditas pertanian dan sumber daya alam.
"Indonesia tidak mampu menarik investasi besar di sektor industri komponen elektronik dan perakitan, dua dari subsektor manufaktur yang terus berkembang cepat. Rezim investasi Indonesia membingungkan dan kurang transparan,” kata Senior Advisor Transformasi Bidang Kajian Ekonomi Jonathan Pincus.
Indonesia, lanjutnya, sebenarnya mempunyai peluang besar untuk membangkitkan industri manufaktur jika mampu menghilangkan hambatan-hambatan produksi.
Peluang itu didapat seiring penurunan kinerja industri manufaktur Tiongkok dan tren peningkatan permintaan global akan produk manufaktur dari Asia Pasifik.
Tiongkok, dengan kapasitas ekspor produk industri padat karya senilai US$1.500 miliar, mulai kehilangan daya saing pasar ekspor. Indonesia dapat merebut sebagian dari pasar tersebut.
Dalam perhitungan Transformasi, jika Indonesia mampu merebut 10% saja, sedikitnya 21 juta lapangan kerja baru akan tercipta. Jumlah itu cukup untuk menangani surplus tenaga kerja saat ini sebanyak 20 juta.