Bisnis.com, JAKARTA—Postur APBN yang selalu menyisakan ruang defisit paling tidak dalam 1 dasawarsa terakhir, dinilai membebani keuangan negara.
Pemerintah punya pilihan menerapkan kebijakan zero deficit demi mengejar kesehatan fiskal dengan mengesampingkan ekspansi.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selama ini kurang berkualitas, utamanya menilik pada defisit yang dibiayai oleh utang, salah satunya melalui penerbitan surat berharga.
“Tren yield meningkat luar biasa, yield makin tinggi makin sulit membayar, makin ngos-ngosan APBN kita,” katanya, Rabu (20/8/2014).
Dia menjabarkan meski dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun dari 46% pada 2005 menjadi 26% di tahun 2013, stok utang pemerintah justru melambung.
Dalam 10 tahun terakhir, stok utang pemerintah meningkat senilai sekitar 2 kali lipat dalam rentang 2005-2013, dari Rp1.268 triliun menjadi Rp2.508.
Adapun kemampuan membayar yang diindikasikan dengan debt to service ratio (DSR) justru kian melempem.
Sepanjang kuartal II/2014 DSR naik ke level 48,28% dari kuartal sebelumnya yang masih di posisi 46,3%.
Salah satu upaya jitu untuk mengurangi kondisi fiskal yang tak fit ini, kata Hendri, adalah dengan menerapkan zero deficit, artinya penerimaan dan pengeluaran seimbang. Hendri menilai ruang defisit bagi APBN sudah tak tepat saat ini.
“Meskipun belanja yang lebih besar dari pendapatan dimaksudkan untuk memberikan stimulus terhadap perekonomian, tetapi sekarang sudah tidak dalam kondisi krisis,” ungkapnya.
Belum lagi dengan penyerapan anggaran yang relatif rendah, utamanya dari K/L dan daerah, penetapan anggaran defisit itu justru menambah beban utang pemerintah kian besar.
Hampir tiap tahun K/L selalu menyisakan anggarannya, terakhir tahun anggaran 2013 penyerapan anggaran baru mencapai sekitar 90%.