Bisnis.com, JAKARTA –PT Freeport Indonesia berpotensi dapat beroperasi hingga 2041 setelah pemerintah Indonesia melalui Ditjen Mineral dan Batubara akhirnya menandatangani nota kesepahaman amandemen kontrak dengan perusahaan tersebut kendati pemberian kelanjutan operasi baru bisa diberikan pada 2019.
Dirjen Mineral dan Batubara R. Sukhyar mengungkapkan dengan adanya nota kesepahaman amandemen kontrak tersebut maka diharapkan pemerintah selanjutnya dapat mempertimbangkan isi nota kesepahaman tersebut.
“Bunyinya kira-kira dengan mempertimbangkan sejumlah komitmen seperti pembangunan smelter dan investasi dari pengembangan tambang bawah tanah, maka tidak ada alasan pemerintah selanjutnya untuk menunda atau tidak memberikan izin kelanjutan operasi perusahaan tersebut,” ujarnya, Jumat (25/7/2014) malam.
Menurutnya, dengan adanya kewajiban untuk membangun smelter maka perusahaan membutuhkan pasokan maka perusahaan akan mengembangkan tambang bawah tanah yang nilai investasinya US$15 miliar sehingga membutuhkan kepastian untuk kelanjutan operasi.
Dia mengatakan khusus soal penandatanganan amandemen kontrak akan dilakukan 6 bulan berikutnya oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada pemerintahan Joko Widodo.
Menurutnya, pemerintahan mendatang tetap memiliki ruang untuk mengubah isi nota kesepahaman tersebut meski harus kembali menegosiasikan dengan Freeport dan dibicarakan kedua belah pihak.
Freeport juga telah menyetujui soal pembayaran bea keluar baru dan pembayaran royalti sesuai dengan PP No. 9/2012. Khusus soal bea keluar, jelasnya, dalam ekspor perdana pada Semester II 2014, perusahaan itu akan membayar bea keluar sebanyak 7,5%.
Sukhyar menjelaskan dalam peraturan menteri keuangan baru yang mengatur bea keluar ekspor konsentrat ada tiga tahapan yakni bila progress pembangunan smelter 0-7,5% maka bea keluar yang dibayarkan sejumlah 7,5%, kemudian bila progress pembangunan smelter telah mencapai 7,5%-30% maka bea keluar turun menjadi 5%. Sementara, ketika progress telah mencapai 30%-100% maka bea keluar menjadi 0%.
Namun, jelasnya, setiap 6 bulan pihaknya mewajibkan perusahaan harus bisa mencapai 60% dari target per semester. Kalau tidak mencapai target tersebut maka kegiatan ekspor konsentrat akan dihentikan. “Misal target smelter dalam 6 bulan ke depan seperti pembebasan lahan dan engineering pabrik,” ujarnya.
Sukhyar mengatakan dengan dibukanya keran ekspor Freeport maka permasalahan konsentrat yang menumpuk bisa segera diatasi, begitu juga dengan masalah sosial serta bisa memperbaiki neraca perdagangan.
Berkaitan dengan divestasi, perusahaan asal Amerika Serikat tersebut wajib melakukan divestasi sebesar 20% dalam jangka waktu 1 tahun setelah revisi PP 23/2010 diterbitkan pada bulan depan. Sementara, 10% divestasi sisanya akan dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun berikutnya.
Sementara itu, President Direktur PT Freeport Indonesia Rozik B. Sutjipto mengakui bila pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman amandemen kontrak. Bahkan, pihaknya juga siap membayar bea keluar ekspor konsentrat sesuai dengan PMK baru.
“Dengan ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut kami siap untuk membayar uang jaminan pembangunan smelter senilai US$115 juta. Dalam ekspor perdana tersebut, kami juga akan membayar royalti sesuai dengan PP 9/2012,” ujarnya.
Menurutnya, dia juga telah mengantongi rekomendasi ekspor dari Kementerian ESDM dan kini masih menunggu keluarnya Surat Persetujuan Ekspor dari Kementerian Perdagangan. Dia berharap agar pada Agustus 2014 pihaknya sudah bisa melakukan ekspor konsentrat.
Berkaitan dengan penandatanganan nota kesepahaman, dia berharap agar pemerintahan mendatang tidak memutus hasil renegosiasi dengan pemerintahan sekarang, karena renegosiasi telah dilakukan selama 2 tahun.
Namun, soal kelanjutan operasi menurutnya memang belum ada keputusan karena masih dibicarakan. Hanya saja, nota kesepahaman yang ditandatangani pada hari ini membahas soal pembayaran sesuai royalti baru dan membayar bea keluar sesuai dengan PMK baru termasuk membayar uang jaminan pembangunan smelter.
“Yang penting jangan ada pemutusan hubungan kerja [PHK] dan gejolak sosial,” ujarnya.