Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah dinilai harus merevisi beberapa poin peraturan menteri terkait impor sapi sebelum meloloskan usulan pembebasan bea masuk (BM) sapi indukan dari Kementerian Perdagangan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri Pengolahan Makanan dan Peternakan Juan Permata Adoe mengatakan penihilan BM sapi indukan sebenarnya berdampak sangat positif. Sayangnya, pengaturan pos tarif untuk semua jenis sapi betina (bibit) masih rancu.
“Ini manfaat ke depannya besar sekali. Ini akan memperbanyak jumlah sapi di Indonesia. Nah, kalau BM sebesar 5% mau diturunkan, pengertian ‘sapi bibit’ harus diselaraskan. Sementara kerjakan itu dulu. Kalau tidak, wacana ini tidak akan jalan,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (17/7/2014).
Dengan kata lain, Juan menyarankan agar Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang terkait tata niaga persapian harus diharmoniskan agar implementasi pengawasan di Ditjen Bea Cukai lebih dipermudah.
Selama ini, aturan soal impor sapi di Kementan dirumuskan dalam Permentan No.85/2013 dan Permentan No.87/2013. Sementara itu, di Kemendag impor sapi diatur dalam Permendag No.46/2013.
Sekadar gambaran, dalam dunia peternakan sapi, terdapat berbagai macam istilah pembibitan. Pengertian sapi bibit juga terbagi-bagi, yaitu bibit yang benar-benar murni atau bibit asli (pedigree) dan bibit komersial (commercial breed).
Adapun, yang dimaksud ‘sapi indukan’ oleh Kemendag adalah sapi betina produktif atau commercial breed, yang dapat diperjual belikan dalam keadaan bunting atau masih bisa melahirkan dua atau tiga kali.
Di dalam bahasa teknis pasar dan kebijakan pemerintah mengenai pos tarif sapi betina, jelas Juan, tidak dibedakan apakah sapi tersebut berjenis pedigree atau commercial breed. Hanya ada satu kode HS yang menyebut kedua jenis sapi tersebut sebagai ‘bibit’.
“Nah, prinsipnya yang namanya bibit itu BM-nya 0% dan itu sudah disepakati. Artinya kalau [sapi indukan] diterjemahkan ke dalam bahasa yang sama, mestinya tarif impornya juga 0%. Hanya saja, secara operasional, sulit membedakan fisik bibit komersial dengan sapi bakalan.”
Hal itulah, kata Juan, yang masih memberatkan Kementerian Keuangan untuk mengabulkan usulan Kemendag. Otoritas keuangan menilai secara operasional di lapangan akan sulit membedakan mana yang sapi bakalan dan commercial breed.
“Oleh karena itu, kalau nanti disepakati bahwa bibit komersial alias sapi indukan ini bea masuknya menjadi 0%, tinggal Permentan dan Permendag-nya yang harus dilakukan perubahan lebih spesifik. ‘Sapi indukan’ harus diubah menjadi ‘bibit’ sesuai dengan yang ada di bea cukai dan standar internasional,” tutur Juan.
Wamen Keuangan Bambang Brodjonegoro awal pekan ini mengungkapkan Kemenkeu sebenarnya setuju dengan konsep menolkan BM sapi indukan agar pertumbuhan peternakan di dalam negeri terpacu.
Namun, akunya, Kemenkeu masih harus mendiskusikannya lebih lanjut dengan kementerian lain, terutama perihal kerancuan kode HS untuk sapi betina. “Secara teknis ada kesulitan, karena HS yang berlaku internasional hanya kenal istilah ‘sapi bibit’.”