Bisnis.com JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tetap melakukan impor minyak baik berupa minyak mentah maupun berupa produk bahan bakar minyak, kendati harga minyak mentah dunia terkerek hampir US$1,5 dolar per barel dari pagu Indonesia Crude Price (ICP) yang tertuang dalam RAPBNP 2014 sebesar US$105 per barel.
Pasalnya, produksi minyak Indonesia yang dapat diolah di kilang dalam negeri hanya sekitar 649.000 barel per hari. Sementara, kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1,257 juta barel per hari. Artinya masih terdapat defisit 608.000 barel per hari yang dipenuhi melalui mekanisme impor.
Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Naryanto Wagimin mengungkapkan pihaknya akan menanggung seluruh biaya impor BBM meski terjadi perbedaan harga antara harga minyak mentah dunia dengan ICP.
“Bila yang diimpor PT Pertamina (Persero) adalah produk BBM bersubsidi maka pemerintah yang akan menanggung seluruhnya. Namun, bila yang diimpor adalah minyak mentah maka Pertamina yang menanggungnya,” ujarnya Kamis (19/6/2014).
Namun, jelasnya, perusahaan plat merah tersebut tetap mendapatkan ongkos pengolahan dari pemerintah. Dia mengungkapkan bila pemerintah memang dibayangi dengan isu kenaikan harga minyak mentah dunia.
Apalagi bila kurs rupiah terhadap dolar menembus level Rp12.000 per dolar AS. Menurutnya, inilah salah satu yang ditakutkan Kementerian Keuangan bila harga minyak dunia terus melambung.
Pasalnya, Kemenkeu mengkhawatirkan tabungan Negara dan devisa bisa tergerus akibat kenaikan tersebut. Itupun belum ditambah dengan kenaikan besaran subsidi BBM yang harus ditanggung oleh APBN.
Sementara, Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan bila terjadi selisih antara ICP dengan harga minyak mentah dunia, maka pemerintah setidaknya harus menyiapkan anggaran sebesar Rp3,8 triliun untuk tambahan subsidi energi.
“Saya kira bila harga minyak mentah dunia terus melambung. Bisa saja pemrintah mengambil solusi yang tidak populis, yakni menaikkan harga BBM,” ujarnya.
Hanya saja, jelasnya, langkah ini sepertinya tidak akan diambil oleh pemerintahan sekarang. Pasalnya, pemerintah sekarang hanya memiliki waktu 4 bulan sebelum lengser dan digantikan oleh pemerintahan yang baru, kecuali dalam keadaan darurat langkah tersebut pasti akan dipertimbangkan oleh pemerintah.
Padahal, solusi lain, yakni meningkatkan penerimaan negara juga tidak bisa dilakukan akibat lesunya neraca perdagangan sehingga penerimaan Negara tidak bisa optimal. Oleh karenanya, pemerintah lebih memilih solusi untuk melakukan penghematan melalui pengetatan anggaran belanja.
Di sisi lain, jelasnya, cash flow Pertamina akan semakin kecil bila harga minyak mentah dunia tidak sesuai dengan asumsi ICP yang tercantum dalam RAPBNP 2014. Dampaknya, belanja perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) tersebut akan terganggu pada pos-pos selain impor minyak.
“Kendati demikian, Pertamina tetap akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah di kemudian hari. Hanya saja, dalam kurun waktu selama ada gap antara ICP dan minyak mentah dunia maka cash flow Pertamina akan mengecil,” ujarnya.