Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan pemerintah yang mencabut subsidi dengan penyesuaian tarif listrik bagi sektor industri menengah dan besar merupakan langkah tepat dan tidak akan menyebabkan inflasi naik.
"Sektor industri merupakan bidang yang orientasinya mencari keuntungan sehingga tak layak mendapatkan subsidi dari negara," kata Aviliani, pengamat ekonomi dari EC Think. saat dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Di sisi lain, kebijakan itu juga tidak akan membuat inflasi melonjak tajam seperti yang dicemaskan sebagian pihak. "Dampak inflasinya tidak akan sebesar seperti kenaikan BBM," kata Aviliani.
Ia mengatakan memang dari beberapa kajian dampak inflatoar kenaikan tarif listrik industri diprediksi tidak separah yang diklaim kalangan pengusaha karena bobot tarif listrik yang hanya enam persen dari total biaya produksi.
Salah satunya yang pernah dipaparkan oleh PT Mandiri Sekuritas yang menyebutkan bahwa dampak tidak langsung dari kenaikan tarif listrik industri sulit diukur, sehingga perlu hati-hati menilai dampak kenaikan tarif listrik terhadap kenaikan harga-harga barang umumnya.
Pertama, industri yang berbeda memiliki struktur ongkos listrik yang berbeda. Kondisi ini akan memengaruhi skala dampak lanjutan. Kedua, berdasarkan pengecekan Mandiri Sekuritas, beberapa perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia telah membayar tarif spesial yang mendekati harga nonsubsidi dengan tujuan mengamankan pasokan listrik.
Badan Pusat Statistik memaparkan proporsi biaya energi industri skala sedang dan besar terhadap total biaya produksi sangat beragam mulai 3 persen-29,3 persen. Sedangkan Bank Indonesia telah juga memperhitungkan pengaruh kenaikan TDL terhadap inflasi tahun ini dimana diperkirakan tidak akan berdampak besar terhadap angka inflasi.
Meski jumlah kenaikan TDL bagi segmen industri tertentu dinilai cukup tinggi, namun inflasi tahunan masih tetap berada dalam target kisaran 4,5 persen plus minus satu persen sebagaimana target awal tahun lalu.
Bank Indonesia akan menjaga sasaran angka inflasi tahun 2014 ini sebesar 4,5 persen plus minus satu persen. Inflasi tahun ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 8,38 persen.
Meski demikian, Aviliani tidak menafikan adanya kemungkinan kenaikan inflasi. Tapi itu bukan disebabkan oleh kenaikan TTL semata, melainkan adanya kebijakan lain, salah satunya kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menaikan tarif premi asuransi sejak awal tahun ini.
Momentum kenaikan TTL ini hanya menjadi faktor pendorong bagi pengusaha untuk menaikkan barang sehingga ada kenaikan inflasi, setelah sebelumnya mereka "terpukul" karena naiknya premi asuransi.
"Jadi yang awalnya kita kira inflasi hanya lima persen, mungkin bisa menjadi 5,5 persen," ujarnya.
Selain itu, meskipun tepat, Aviliani tetap memberikan beberapa catatan bagi pemerintah terkait kebijakan kenaikan TTL ini. Menurutnya, kebijakan pemerintah ini tidak terencana dengan baik sehingga mengagetkan dunia usaha. Seharusnya pemerintah berkonsultasi dahulu dengan berbagai pihak, terutama dunia usaha sebelum mengelurakan kebijakan ini.
Pemerintah dan DPR telah menyepakati kenaikan TTL yang bagi golongan I-3 go public dan I-4 masing-masing sebesar 38,9 persen dan 64,7 persen. Golongan I-3 merupakan perusahaan yang melantai di bursa efek Indonesia dengan pemakaian daya lebih dari 200 kilovolt ampere (KvA) hingga 30.000 Kva. Sementara golongan I-4 merupakan para pelaku usaha dengan penggunaan daya lebih dari 30.000 KVA.
Kebijakan ini telah tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.9/2014 tentang TTL yang disediakan PLN. Melalui kebijakan ini, pemerintah menargetkan penghematan subsdidi listrik hingga Rp.8,9 Triliun.
Pada APBN 2014, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi listrik sebesar Rp100 triliun. Hal itu sudah termasuk dengan implikasi kebijakan kenaikan tarif listrik untuk industri. Bila tidak, ada kemungkinan melonjaknya anggaran sebesar Rp9 triliun menjadi Rp 109 triliun. Ini tentu akan menjadi beban untuk fiskal, jika tidak dinaikkan. (Antara)