Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mekanisme Penjualan Pertamina Picu Kelangkaan Gas

PT Pertamina dan Hiswana Migas diminta segera memberlakukan perdagangan tertutup (off market) untuk penjualan gas elpiji 3 kilogram. Pasalnya, dengan mekanisme penjualan yang selama ini terjadi telah menjadi penyebab gas langka.
Mekanisme penjualan  Pertamina picu kelangkaan gas/JIBI
Mekanisme penjualan Pertamina picu kelangkaan gas/JIBI

Bisnis.com,  BANDUNG - PT Pertamina dan Hiswana Migas diminta segera memberlakukan perdagangan tertutup (off market) untuk penjualan gas elpiji 3 kilogram. Pasalnya, dengan  mekanisme penjualan yang selama ini terjadi telah menjadi penyebab gas langka.

Kepala Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Popi Hopipah mengatakan penjualan dengan cara off market itu sebenarnya telah menjadi salah satu pemikiran pemerintah pusat. Akan tetapi, memang belum direalisasikan.

"Dengan cara penjualan seperti off market maka pendistribusian gas untuk setiap daerah memiliki ciri yang berbeda. Sehingga ketika digunakan oleh daerah lain akan mudah teridentifikasi," katanya, Selasa (6/5).

Dia mensinyalir kelangkaan gas selama ini salah satunya disebabkan adanya peralihan kuota gas dari satu daerah ke daerah lain karena tidak ada pembeda.

Kelangkaan gas pun disebabkan oleh suplai gas 3 kilogram dari Hiswana Migas untuk Kabupaten Bandung masih berada dibawah kuota kebutuhan hanya sekitar 56 juta per tahun. Padahal pihaknya telah mengajukan kuota kebutuhan sebanyak 86.049.264 per tahun.

"Hiswana Migas selalu menyatakan telah melakukan extra dropping, tapi fakta di lapangan bahwa kelangkaan gas masih tetap saja terjadi dan harga jualnya cukup tinggi Rp20.000-Rp25.000 per tabung dan itupun barangnya langka," ujarnya.

Kelangkaan akan 'si melon' di Kab Bandung telah terjadi sejak akhir tahun lalu. Makanya, pada awal tahun pihaknya langsung melayangkan surat ke Pertamina dan Hiswana Migas. Bahkan pada Mei ini pihaknya telah mengirimkan surat sebanyak dua kali, tapi tetap tidak ada tindak lanjutnya.

Dengan kelangkaan gas tersebut, pemerintah daerah selalu menjadi sasaran 'amukan' warga. Padahal Pertamina dan Hiswana Migas yang bertanggung jawab karena memonopoli penjualan.

Pihaknya menyangkal alasan Hiswana Migas bahwa kelangkaan disebabkan migrasi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sebelumnya menggunakan gas 12 kilogram (non subsidi) ke 3 kilogram (bersubsidi). 

"Katanya ada 8.000 UMKM yang beralih ke gas 3 kilogram. Sedangkan penduduk Kabupaten Bandung 3,2 juta jiwa. Kalau pelaku UMKM ini ada 1 juta saja yang pakai gas 3  kilogram pasti sisanya masih banyak. Kalau memang suplay dari sananya lancar," ujarnya.

Dalam waktu dekat ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan aparat kepolisian dan Satpol PP untuk melakukan sweeping di lapangan guna mencari tahu adanya praktik penimbunan dan penggunaan oleh mereka yang bukan haknya.

Ketua Hiswana Migas Bandung-Sumedang, Tuah Siagian mengakui masih terjadinya kelangkaan gas 3 kilogram di beberapa kecamatan seperti Baleendah, Bojongsoang, Dayeuhkolot, Soreang dan Rancaekek. Padahal, pihaknya sudah melakukan penambahan.

"Sebenarnya kami sudah tambah suplai di daerah tersebut seperti Baleendah, dan sekitarnya. Tapi, ternyata masih saja kurang," tuturnya.

Dia menduga kelangkaan disebabkan banyaknya perusahaan non-mikro yang menggunakannya. Hal itu seperti yang terjadi di wilayah Kota Bandung di mana perusahaan  kuliner menggunakan gas 3 kilogram untuk kebutuhan usahanya.

Untuk mengatasi hal itu, dirinya kembali melakukan penambahan pasokan tabung ke sejumlah daerah yang masih rawan kelangkaan. 

"Penambahan gas 100% pada 7-8 Mei untuk mengatasi kekurangan gas di sejumlah kecamatan," katanya.

Idealnya, menurut Tuah, distribusi gas bersubsidi tersebut dilakukan secara tertutup seperti yang dijalankan di Kabupaten Sumedang. Para konsumen diberi kartu elektronik, sehingga distribusi gas bisa tepat sasaran karena menggunakan sistem komputerisasi.

Meski demikian, sistem tersebut belum berjalan efektif lantaran keterbatasan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia."Selain itu, sistem itu juga membutuhkan anggaran besar, yaitu mencapai Rp 2-3 miliar per tahun," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper