Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menilai tepat keputusan pemerintah yang akhirnya memberi keringanan bea keluar bagi pemegang kontrak karya tambang mineral yang menunjukkan kemajuan pembangunan smelter.
Menurutnya, bea keluar pada dasarnya hanyalah ‘alat pemaksa’ agar perusahaan tambang membangun fasilitas pengolahan/pemurnian mineral. Jika smelter dibangun, maka semestinya ada perlakuan berbeda dalam pengenaan bea keluar.
“Begitu smelternya terbangun, maka BK (bea keluar) itu cenderung bisa dihapus atau direvisi secara bertahap. Itu menurut saya filosofinya,” katanya, Rabu (23/4/2014).
Hasil rapat koordinasi mineral dan batubara di Kemenko Perekonomian pada hari yang sama memutuskan pemberian keringanan kepada perusahaan yang menunjukkan keseriusan membangun smelter. Keringanan diberikan dengan pengurangan bea keluar konsentrat mineral dari tarif yang berlaku saat ini.
Sejak 12 Januari, pemerintah memberlakukan bea keluar progresif 20%-60% bagi ekspor enam jenis konsentrat mineral dengan kadar beragam. Bersamaan dengan itu, ekspor seluruh mineral mentah dilarang.
Regulasi bea keluar progresif itu tertuang dalam PMK No 6/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar yang diteken Menkeu M. Chatib Basri 11 Januari 2014. Beleid lama mengutip bea keluar flat 20% untuk ekspor mineral mentah.
Hidayat menyampaikan sejauh ini baru ada 5 perusahaan yang menunjukkan kesungguhan membangun smelter.
Satu fasilitas pengolahan bijih bauksit menjadi alumina tengah dibangun di Bintan, Kepulauan Riau, dan pengolahan bijih besi menjadi baja di Medan.
Dua fasilitas smelter pun tengah didirikan Sulawesi, salah satunya pengolahan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Satu smelter alumina dibangun di Kalimantan Barat.
Menurutnya, sebagian besar perusahaan itu dapat menyelesaikan konstruksi smelter 2017, bersamaan dengan berakhirnya masa berlaku PMK No 6/2014.
Jumlah perusahaan yang menunjukkan keseriusan penghiliran itu memang relatif sedikit jika merujuk pada jumlah perusahaan yang ditetapkan sebagai eksportir terdaftar mineral.
Sebagaimana diketahui, untuk dapat mengekspor konsentrat mineral, perusahaan harus menunjukkan komitmen membangun smelter.
Namun, Hidayat menuturkan angka itu sudah menunjukkan kemajuan pesat mengingat nilai investasi proyek smelter sangat tinggi, yakni minimal US$1 miliar.
Kondisi tersebut pun jauh lebih maju dibandingkan 5 tahun belakangan sekalipun UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mewajibkan penghiliran.
“Itu bukan hal mudah, makanya saya tidak pernah mengharapkan ini dibangun begitu banyak karena investasinya berat,” ujarnya.