Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta bersikap rasional dan terbuka, terkait rencana kenaikan royalti batu bara untuk izin usaha pertambangan (IUP).
Menurut pengamat pertambangan dan metalurgi Yusuf, pemerintah sebaiknya melakukan kajian yang jujur, terbuka, dan rasional sebelum memutuskan besaran kenaikan tersebut.
Secara besaran, jelasnya, memang terlihat tidak adil, ketika perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B) dikenakan royalti 13,5%, sedangkan IUP hanya dikenakan kewajiban 3,5% dan 7%.
Namun, lanjutnya, dalam industri batu bara juga harus dilihat striping rationya, lokasi tambang, ketebalan sin, dan kualitas batu bara.
“Jika melihat beberapa aspek tersebut, maka keinginan untuk menyamakan royalti IUP dan PKP2B justru tidak adil,” katanya, Senin (14/4/2014).
Apalagi, imbuhnya, dengan harga batu bara saat ini, kebijakan menaikkan royalti untuk IUP tentu menjadi tidak realistis.
“Kalau cost produksi, masih mudah menghitungnya, tetapi cost di luar itu yang susah dan jumlahnya tidak pasti karena pungutan tidak resmi masih marak,” terangnya.
Yusuf mengusulkan agar perusahaan pertambangan batu bara yang sudah melaksanakan prinsip good mining practice, sebaiknya diberi kompensasi yang lebih rendah. Sementara itu, perusahaan yang tidak menjalankan prinsip itu, dikenakan beban yang lebih tinggi, bahkan bila perlu diberikan terminasi atau diberhentikan kegiatan pertambangannya.
“Lebih baik memberikan insentif royalti lebih rendah kepada yang menjalakan prinsip good mining practice, ketimbang menaikan royalty. Tapi semua pihak juga harus duduk bersama, buka-bukaan, dan fair. Kalaupun ada rencana kenaikan, hitungannya harus jelas dan rasional,” tuturnya.