Bisnis.com, JAKARTA- Kementerian Perhubungan menyatakan masih membutuhkan waktu beberapa tahun guna meningkatkan konektivitas antarpulau melalui sektor laut, khususnya di kawasan timur Indonesia.
Pada Februari lalu, Bupati Maluku Barat Daya (MBD) Barnabas N. Orno bersama jajarannya datang ke Kementerian Perhubungan. Mereka bertemu dan menandatangani kesepakatan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara untuk membangun bandar udara di Moa Lakor.
Pembangunan bandara yang memiliki panjang landasan 1.200 meter itupun direncanakan selesai pada April ini. Setidaknya, Kemenhub menganggarkan Rp100 miliar bagi pembangunan bandara di daerah timur itu.
Penyelesaian proses pendanaan bandara bisa dikatakan sebagai upaya bertahun-tahun untuk melepaskan keterisolasian daerah MBD. Letak geografis provinsi hasil pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada 2008 itu paling ujung, bahkan waktu tempuh jalur laut lebih pendek ke Timor Leste dan Australia daripada ke Ambon, Ibukota Provinsi.
Keberadaan bandara merupakan jalan satu-satunya melepas keterisoliran wilayah yang diperintahnya. Sebab, melalui jalur laut, saat ini wilayahnya hanya disinggahi kapal-kapal kayu dua bulan sekali, padahal untuk urusan logistik mereka masih erat bergantung dengan kiriman jalur laut dari Surabaya.
Sebelum meninggalkan kantor Kemenhub, dia pun meninggalkan secarik kertas dengan berisikan susunan angka nomor ponsel pribadinya. Namun, dia juga mengingatkan, bahwa kerap kali sinyal terganggu, sehingga tak mungkin berkomunikasi lancar.
Hingga dua hari belakangan, nomor ponsel Barnabas tak dapat dihubungi. Jawaban di seberang sana selalu menyatakan nomor yang dituju berada di luar jangkauan, entah apa sebabnya.
Persoalan konektivitas merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi Bupati seperti Barnabas, masyarakatnya belum lagi berkembang, namun untuk membangun perekonomian pun dibutuhkan konektivitas transportasi. Syaratnya, infrastruktur transportasi harus tersedia, pemerintah perlu memberikan insentif dan pendanaan bagi siapapun operator yang melayani pelayaran wilayah tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Bobby Mamahit mengatakan hingga kini pihaknya masih membutuhkan waktu beberapa tahun ke depan guna meningkatkan kualitas layanan pelayaran bagi masyarakat di kawasan timur tersebut. Menurutnya, hal itu merupakan amanat Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
"Sejauh ini kami masih berupaya mewujudkan konektivitas domestik, seperti pembangunan dermaga dan pelabuhan. Upaya itupun termasuk peningkatan konektivitas wilayah timur dan pulau terluar," ujarnya kepada Bisnis.com, Jumat (11/4).
Dia mengatakan sejauh ini proses peningkatan konektivitas di antaranya dengan mengadakan program pelayaran perintis. Tiap tahun, lanjutnya, terdapat pemekaran wilayah baru yang juga diusahakan terlayani dengan perintis, berikut pembangunan dermaga.
Pada tahun ini, Kementerian Perhubungan telah mengalokasikan 84 kapal untuk trayek keperintisan dengan total anggaran subsidi mencapai Rp537. Terdapat 84 kapal perintis yang berlayar di 34 pelabuhan pangkal.
Meski demikian, seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Frangky Sibarani, keberadaan kapal pengangkut barang ke pulau-pulau di kawasan timur Indonesia masih tetap terbatas. Umumnya, tambah Frangky, pelayaran masih menggunakan kapal kayu kecil.
Para pengusaha yang akan mengirimkan produksi ke daerah itu pun terbebani dengan biaya tinggi. Karena itu, konektivitas itu perlu ditingkatkan, dengan penambahan armada kapal.
LIMA TAHUN
Sebelumnya, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mempredikis penyelesaian konektivitas wilayah timur Indonesia akan rampung lima tahun mendatang. Saat ini, terdapat beberapa program peningkatan itu, di antaranya penambahan frekuensi pelayaran dan pengembangan konsep jembatan bergerak.
Dia mengakui selama ini peningkatan konektivitas itu masih mempunyai banyak kendala. "Meski daerah-daerah itu tersambung dengan kapal, namun frekuensi sandar masih sangat rendah, jarang operator yang mau melayarinya," ujarnya.
Karena itu, pemerintah berupaya membangun konsep yang menyambung jalan arteri nasional di tiap pulau itu, dengan pelayaran kapal ferry. Selain itu, bagi operator yang memang ingin melayani pelayaran daerah tersebut, pemerintah patut memberikan insentif.
Sekretaris Jenderal DPP Pelayaran Rakyat Abdul Rasyid Gani mengatakan hingga kini untuk pelayaran pulau-pulau terpencil tersebut, masih banyak dilakoni pelaku pelayaran rakyat yang masih terbatas dari segi permodalan.
"Kami mau membantu lebih banyak dengan pelayaran rakyat, namun masih terkendala dengan mahalnya biaya pembuatan armada kapal yang berbahankan kayu, bisa mencapai Rp6 miliar satu kapal," ujarnya.