Bisnis.com, JAKARTA - DANA PENSIUN di Norwegia pun menanamkan dananya di sektor tersebut. Bentuknya macam-macam. Ada dana untuk perusahaan batu bara sebesar US$11 juta. Ada pula dana untuk perusahaan indonesia yang berinvestasi di sektor tambang batu bara sebesar US$330 juta. Terakhir, sekitar US$2,8 miliar digelontorkan pada perusahaan asing yang memilik tambang di Indonesia.
“Ledakan batu bara meninggalkan jejak kehancuran di Kalimantan. Merusak hutan hujan dan kehidupan masyarakat,” kata Alex Scrivener, pengkampanye dari WDM. “Di sini, seperti banyaknya proyek-proyek energi fosil di seluruh dunia, tangan tak terlihat lembaga keuangan Inggris tengah bekerja.”
“Di Borneo, produksi batu bara menghasilkan masalah lingkungan dan konflik. Indonesia adalah tempat di mana produksi batu bara meningkat paling cepat,” kata Sigurd Jorde dari the Future in Our Hands yang berbasis di Oslo. "Hutan hujan yang ditebang, humus dirobek. Batu bara dikerok keluar, dan kawah besar terisi dengan air kotor yang tertinggal."
Saya mengkhawatirkan persoalan batu bara di kampung halaman yang seakan-akan abadi. Masalahnya, BPPT memaparkan hasil proyeksinya soal neraca batu bara berikut penggunaannya untuk sektor industri di dalam negeri. Produksi batu bara menjelang 20 tahun mendatang akan meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,27% per tahun.
Dengan kata lain, produksi batu bara dari sekitar 353 juta metrik ton pada 2011 akan mencapai dua kali lipat pada 2030, yaitu 781 juta metrik ton. Ini juga berimbas pada lonjakan tingkat konsumsi domestik: dari 23% pada 2011 menjadi 46% pada 2030. Tentunya, sebagian besar hasil produksi masih untuk komoditas ekspor. Penggunaan batu bara di dalam negeri pun tetap didominasi untuk tenaga pembangkit listrik dan bahan bakar industri di sektor semen, tekstil dan kertas.
“Pangsa penggunaan batu bara terhadap kebutuhan bahan bakar pada pembangkit listrik diperkirakan meningkat hampir 57% pada 2011, menjadi 70% pada 2030,” demikian Agus Sugiyono, Kepala Bidang Perencanaan Energi BPPT dalam laporan tentang proyeksi energi termutakhir. “Dari 45 juta metrik ton pada 2011 menjadi 254 juta metrik ton pada 2030.”
Ini akan menjadi cerita yang panjang. Dalam 10 tahun terakhir, saya kira, tak ada keputusan politik yang memihak Kalimantan Selatan—atau daerah penghasil sumber energi lainnya—terkait dengan perbaikan ekologi dan kesejahteraan. Yang saya pahami, batu bara sampai sekarang hanya menyisakan konflik agraria, korupsi dan krisis lingkungan yang tak berkesudahan.
Bahkan, dua laporan terbaru dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan the World Wide Fund for Nature (WWF) memaparkan bagaimana jaringan partai politik memanfaatkan bisnis sumber daya alam untuk kepentingan politiknya. Kedua organisasi itu meyakini korupsi sumber daya alam diduga melibatkan partai politik, pemerintah dan korporasi. Ini pun berimbas pada pelbagai hal. Salah satunya, ketimpangan kepemilikan antara masyarakat dan korporasi skala besar atas sumber daya alam.
“Rakyat kesulitan mengakses energi. Tak terkecuali daerah penghasil sumber energi macam Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan," kata pengkampanye Jatam, Ki Bagus Hadi Kusuma dalam satu diskusi. “Krisis di lumbung energi merupakan paradoks yang menampar akal sehat.”
“Kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda politik. Ini berujung pada bencana dan kesengsaraan, “ kata Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia Nyoman Iswarayoga dalam keterangan resminya. “Pengelolaan sumber daya alam juga kerap terbelit permasalahan korupsi.”
Di Jakarta, saya melihat puluhan foto calon legislator hingga kandidat Presiden. Sebagian tampang-tampang mereka ditempel di dinding pinggir jalan. Pada poster yang dipaku di pepohonan atau dalam spanduk yang terikat. Yang paling mahal, tentu saja muncul di televisi atau surat kabar ibukota. Sebagian besar mereka berasal dari sembilan fraksi yang berkuasa di parlemen nasional dalam 5 tahun terakhir. Juga ada partai baru yang bergabung pada Pemilu tahun ini.
Tetapi, hiruk pikuk ini tak akan membuat saya lupa pada Fatma Sari.
Ibu dari tiga orang anak, yang sempat tinggal di Desa Sungai Cuka, Kabupaten Tanah Bumbu selama 7 tahun lamanya. Listrik yang mati berhari-hari. Air yang tercemar akibat tambang batu bara. Debu truk pengangkut batu bara, si penghasil batuk berkepanjangan pada anak-anak di sana.
Atau kenangan kecil lainnya atas kawah raksasa di Desa Riam Adungan, Kabupaten Tanah Laut. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, memang sudah tampak di depan mata. Tapi saya tak tergerak sedikit pun untuk memilih mereka. Bagi saya, ini adalah perlawanan.