Bisnis.com, NUSA DUA--Organisation for Economic Co-operation and Development menilai transparansi data perbankan untuk kepentingan perpajakan merupakan hal lumrah yang dilakukan di hampir seluruh negara.
General Secretary OECD Angel Gurria mengatakan lembaga perpajakan harus memiliki otoritas untuk membuka data perbankan guna mengevaluasi kewajiban pajak warga negara dalam waktu singkat.
“Tidak hanya terbatas pada respon bank sental dalam menyikapi transparansi data perbankan. Seharusnya memang perlu ada aturan baru bahkan undang-undang baru,”ujarnya disela acara OECD Southeast Asia Regional Forum: Regional Competitiveness for Sustained growth, Rabu(26/3/2014).
Bahkan, lanjutnya, berbagai negara sudah memiliki sistem khusus pertukaran informasi warga negara yang dapat diakses secara otomatis melalui teknologi informasi.
Saat ini, negara yang tergabung dalam G20 diwajibkan mengembangkan sistem pertukaran informasi antar negara. Tidak hanya terkait wajib pajak individu, tetapi juga wajib pajak badan. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya pembayaran pajak ganda oleh perusahaan multilateral.
Menurutnya, transparansi data bukan persoalan membuka kerahasiaan perbankan, melainkan solusi mengawasi para pelanggar pajak yang seharusnya melaksanakan kewajiban dengan baik.
“Data perbankan tidak bisa terlalu ditutupi, kalau tidak malah akan jadi pelanggaran ketika para pelanggar pajak terlindungi atas nama kerahasiaan data. Sah-sah saja mengevaluasi kewajiban warga negara,” tuturnya.
Menteri Keuangan Chatib Basri menambahkan selama ini prosedur permintaan informasi data perbankan terlalu rumit dan membutuhkan waktu panjang. Hal itu tentu menghambat proses pemeriksaan perpajakan. Harapannya, Bank Indonesia bisa membuka akses data perbankan demi membantu proses evaluasi kewajiban pajak.
“Selama ini proses permintaan data bisa dilakukan tetapi melalui prosedur berlapis, inginnya bisa mengakses langsung. Sekarang masih diskusi terus, apalagi Bank Indonesia sudah dalam bagian OJK,” katanya