Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rachmat Gobel Raih Doktor HC: Soroti Tren Industri Global, Kebangkitan Asia dan Tantangan Indonesia

Perubahan tren industri global melahirkan tantangan baru yang tidak mudah bagi Indonesia dalam memikat 'angsa terbang' produsen global. Indonesia harus meningkatkan kapasitas teknologi dan keahlian sumberdaya manusia untuk menghadapinya
Rachmat Gobel (tengah) beserta istri (duduk) dan kedua anaknya/Bisnis.com
Rachmat Gobel (tengah) beserta istri (duduk) dan kedua anaknya/Bisnis.com

Bisnis.com, TOKYO - Perubahan tren industri global melahirkan tantangan baru yang tidak mudah bagi Indonesia dalam memikat 'angsa terbang' produsen global. Indonesia harus meningkatkan kapasitas teknologi dan keahlian sumberdaya manusia untuk menghadapinya.

Bukan cuma peningkatan kapasitas dalam pengembangan produksi dan teknologi di sektor-sektor sekunder dan tersier, namun perbaikan kapasitas sumberdaya manusia dalam jangka panjang jauh lebih penting untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia.

Simpulan tersebut merupakan salah satu benang merah acceptance speech pengusaha Rachmat Gobel, seusai menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Chuo, Jepang, di Tokyo, Senin (24/3/14). Gelar itu diserahkan oleh Acting Chancellor Chuo University  Akira Tohyama, disaksikan Presiden Chuo University Tadahiko Fukuhara.

Rachmat, yang dikenal sebagai Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang atau PPIJ sekaligus Presiden Komisaris PT Panasonic Gobel Indonesia, menjadi penerima gelar Doktor HC yang ke-17 dari Universitas Chuo, dan orang Indonesia pertama yang menerima gelar tersebut.

Gelar Doktor HC untuk Rachmat Gobel diberikan karena Presiden Komisaris Panasonic Gobel Indonesia itu dinilai telah memberikan kontribusi luar biasa dalam mempererat persahabatan Indonesia-Jepang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Dalam pidatonya, Rachmat menguraikan tren utama dalam perekonomian global dan Asia, serta dampaknya terhadap hubungan Indonesia – Jepang sekaligus tantangan yang dihadapi Indonesia.

Perubahan tren, yang disinggung Rachmat, antara lain kebangkitan Asia dan tumbuhnya kelas menengah, perubahan sifat bersaing global, perubahan iklim, energi terbarukan,  dan revolusi energi.

Khusus tentang kebijakan energi, Rachmat menguraikan dampak perubahan iklim yang menantang perlunya energi terbarukan dan revolusi energi di sisi lain.

Dia menilai, gerak cepat Amerika Serikat mengganti energi batu bara dengan gas shale yang lebih murah dan bersih telah membantu negara itu menurunkan tingkat emisi lebih dari negara manapun di dunia.

Pada 2010, produksi gas shale AS meningkat mencapai 138 miliar meter kubik, mencakup 23% dari total produksi gas alam negara itu. Para ahli juga menemukan cadangan shale yang besar di Eropa dan China.

Rachmat menduga, gas shale barangkali merupakan kunci emas bagi permasalahan energi dunia. "Bukan hanya berlimpah, ia juga lebih efisien dan melepas hingga 50% lebih sedikit karbon dioksida  dibandingkan  bahan bakar fosil," ujarnya.

  • Jejak Kaki Asia

Khusus tentang Asia, Rachmat menjelaskan bahwa kawasan benua yang kini dihuni 3,9 miliar orang itu merupakan setengah dari populasi dunia.

Pertumbuhan ekonomi Asia juga telah melampaui negara-negara berkembang, lebih dari 8% per tahun sejak 1999 hingga 2012.

Salah satu motor Asia, yakni China, telah mengalami pergeseran ekonomi yang penting. Selama periode ini, setiap tahun PDB China tumbuh rata-rata 10% dan saat ini perekonomian China telah menjadi nomor dua terbesar di dunia, dengan cadangan devisa US$3,3 triliun.

Ke depan, Asia diramalkan akan menguasai 51% PDB dunia pada 2050. "Ini merupakan pergeseran struktural yang besar dalam perekonomian global," ujarnya.

Kelas menengah Asia juga tumbuh cepat, yang diperkirakan akan mencakup dua pertiga dari jumlah kelas menengah dunia yang mencapai 4,9 miliar pada 2030.

"Strata sosial ini akan menjadi pendorong amat kuat bagi konsumsi, yang akan mengubah sifat permintaan global dan cara berbagai pelayanan yang diperlukan," jelasnya.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi cara produk-produk dirancang dan diproduksi, mempengaruhi inovasi yang murah – contohnya inovasi ‘Juggad’ di Hindi  yang memungkinkan pembuatan tablet seharga US$35, untuk meningkatkan akses ke pendidikan di pedesaan India.  

Contoh lain adalah perkembangan TATA Nano yang menggambarkan penggunaan teknologi lebih meluas, bukan hanya untuk sekelompok minoritas yang eksklusif, melainkan diadaptasi untuk mayoritas kelompok kelas menengah.

Dia yakin tren-tren sosial-ekonomi ini, berbarengan dengan terobosan-terobosan teknologi di berbagai bidang, dari nano-teknologi, informasi komunikasi dan biologi sintetis, akan mendatangkan peluang pasar yang luar biasa di Asia.

"Asia akan terus tumbuh dan meninggalkan jejak kaki yang lebih besar dalam perekonomian global," tegasnya.

  • Penyusutan outsourcing

Dalam bagian lainnya, Rachmat mengemukakan Asia dalam dekade terakhir telah sangat diuntungkan oleh gelombang alih daya (outsourcing) dunia.

Sumber daya yang berlimpah, tenaga kerja murah dan insentif-insentif pemerintah yang menggoda, telah menguntungkan produsen global menghemat biaya produksi secara signifikan.

Ini telah membuka peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari transfer teknologi, proses manajemen, praktik bisnis yang bersaing dan pengetahuan di bidang manufaktur.

Namun, pola produksi global perlahan berubah: peluang Asia dari sisi biaya dengan cepat tergerus oleh kenaikan upah, lonjakan harga energi dan produktivitas yang rendah.

Akibatnya, terdapat tren baru dari para pemilik pabrik, yang memindahkan kembali produksi ke negara-negara maju.

Pada 2010, misalnya, Ford Motor Co. memindahkan pekerjaan dari para pemasok di China, Meksiko dan Jepang, kembali ke Amerika Serikat. Perusahaan seperti General Electric, Caterpillar Inc. dan Volkswagen, juga mengurangi sebagian kebijakan alih daya mereka.

Mengantisipasi hal itu, pemerintah China terang-terangan berniat memindahkan rantai nilai manufaktur  dan mengembangkan sektor jasa lebih jauh lagi.

Namun langkah tersebut menimbulkan tantangan lain. Paradigma angsa terbang (flying geese paradigm) akan menjadi kian nyata dalam dua cara.

Pertama, menurut Rachmat, di dalam negeri China akan terjadi relokasi aktivitas manufaktur, menjauh dari wilayah-wilayah tepi pantai yang relatif mahal. Kedua, jelasnya, pabrik-pabrik akan lebih mengintensifkan diversifikasi operasi mereka ke luar China, untuk mendapatkan biaya yang lebih murah.

Apakah lantas Indonesia diuntungkan? Rachmat justru menduga, pabrik-pabrik akan pindah ke India, Filipina, Bangladesh dan Vietnam di Asia, serta Brasil, Peru, Kolombia dan Cili, di  Amerika Latin. Di Afrika ada peluang negara seperti Ethiopia, Ghana, Rwanda dan Tanjung Verde sebagai tujuan investasi baru.

"Negara-negara tersebut akan bersaing melawan Indonesia... manakala perusahaan-perusahaan global mencari lebih banyak lagi wilayah yang menawarkan biaya produksi yang lebih efektif," paparnya.

  • Hubungan Indonesia-Jepang

Khusus mengenai hubungan Indonesia, Rachmat mengatakan tingkat kepercayaan terhadap negara ini terus meningkat secara signifikan dalam tahun-tahun terakhir. Investasi asing langsung naik  tiga kali lipat sejak 2005, mencapai rekor US$25,7 miliar pada 2013.

Namun dia mengingatkan salah satu tantangan terbesar Indonesia untuk tahun-tahun mendatang adalah bergabungnya negeri ini ke dalam pasar global yang kian kompetitif.

Selain itu, Indonesia juga mengalami transisi yang penting dari penghasil komoditas bernilai tambah rendah menjadi sebuah basis industrial yang lebih bervariasi.

Dalam konteks itu,  hubungan Indonesia-Jepang menjadi kian penting, katanya. Indonesia, menurut Rachmat, akan diuntungkan oleh aliran investasi langsung Jepang ke dalam industri-industri seperti retail, media dan sektor-sektor produk konsumen.

Investasi semacam itu diyakini akan membantu memperluas modal ekonomi dan meningkatkan kapasitas produksi, teknologi dan keahlian yang menopang pengembangan sektor-sektor sekunder dan tersier di Indonesia.

Namun, bukan itu saja yang dibutuhkan. Rachmat mengingatkan, dalam jangka panjang, Indonesia akan perlu mengatasi isue penting menyangkut pembangunan sumber daya manusia dan produktivitas angkatan kerja.

Mengingat reputasi Jepang yang kuat dalam hal kecepatan, efisiensi dan ketepatan proses-proses kerja, bantuan Jepang dalam bentuk pengembangan keterampilan dan pelatihan amat diperlukan. "Ini akan menolong  Indonesia untuk meningkatkan keahlian angkatan kerjanya dan mendorong peningkatan produktivitas," jelasnya.

Penerimaan gelar Doktor HC bagi Rachmat Gobel kemarin dihadiri sejumlah tamu dari Indonesia, termasuk Dubes RI di Jepang Yusron Ihza Mahendra, mantan Menteri perindustrian Fahmi Idris, mantan mnteri Perhubungan Djusman Syafii Djamal, dan sejumlah praktisi bisnis dan pengurus Kadin. (*)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper