Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah Indonesia dinilai gegabah menyepakati perjanjian penempatan serta perlindungan untuk tenaga kerja Indonesia (TKI) informal dengan Arab Saudi.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan kesepakatan perjanjian harus melalui pembahasan serius yang mengacu data konkret masalah yang selama ini menimpa TKI.
“Perjanjian perlindungan tersebut harus mengacu pada penyelesaian sengketa TKI dengan majikan sesuai standar perlindungan yang ditetapkan ILO,” katanya, Selasa (18/2/2014).
Menjelang ditandatanginya kesepakatan tersebut, jelasnya, Arab Saudi dan Indonesia masih belum tuntas menyelesaikan sengketa TKI. Saat ini, masih terdapat sedikitnya 38 TKI yang terancam hukuman mati, sebanyak 5 diantaranya sudah vonis tetap.
Selain itu, kasus TKI/WNI overstay yang jumlahnya mencapai 90.000 orang dari 101.067 TKI overstay juga masih belum bisa terselesaikan. Hingga saat ini, kedua pemerintah hanya mampu menyelesaikan masalah TKI overstay sebanyak 10.000 orang saja.
Dengan banyaknya kasus tersebut, harusnya pemerintah menuntut Arab Saudi untuk lebih dulu menyelesaikan sejumlah kasus tersebut sebagai bentuk keseriusan menangani kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang kerap menimpa TKI.
“Pemerintah harus berani meminta jaminan kepada pemerintah Arab Saudi terkait sanksi yang diberikan kepada majikan.”
Untuk itu, sejumlah mekanisme teknis terkait hak, kewajiban, serta sanksi harus disusun detil untuk menguatkan perlindungan terhadap TKI di Arab Saudi. “Pemerintah harus mendetilkan perjanjian tersebut melalui mekanisme lanjutan. Jangan sampai perjanjian tersebut justru menambah kasus TKI informal di Arab Saudi.”
Jangan sampai, penandatanganan perjanjian tersebut hanya bertujuan bisnis semata tanpa memperhatikan perlindungan terhadap TKI. “Penandatanganan kesepakatan ini awal dari rencana pembukaan moratorium TKI ke Arab Saudi yang sudah berlangsung sejak Agustus 2011.”
Ada indikasi, papar Anis, penandatanganan perjanjian perlindungan ini muncul pascalobi pengusaha pengerah jasa TKI yang selama ini kehilangan untung akibat kebijakan moratorium. “Pasalnya, Arab Saudi memang menjadi negara penempatan favorit para calon TKI dan PPTKIS.”
Sebelumnya, kepada Bisnis.com, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia di Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Tatang Budie Utama Razak mengatakan negosiasi dengan Arab Saudi terkait pengiriman kembali TKI masih terganjal, menyusul belum disepakatinya joint committee skema penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak.
Namun saat ini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar sudah berada di Riyadh untuk menandatangani perjanjian penempatan dan perlindungan untuk TKI informal. Sesuai rencana,
perjanjian akan ditandatangai bersama Arab Saudi pada Rabu (19/2/2014).
Dengan ditandatangani perjanjian bilateral tersebut, kata Muhaimin, perlindungan TKI informal dipastikan akan lebih optimal sehingga kasus yang menimpa TKI bisa diminimalisasi. “Kami ingin Arab Saudi memberikan perhatian khusus pada TKI,” katanya dalam siaran pers, Selasa (18/2/2014).
Perjanjian tersebut mencakup antara lain pembuatan kontrak kerja secara online, akses komunikasi, penyediaan 1 hari libur dalam 1 minggu, serta sistem penggajian yang dilakukan melalui jasa perbankan untuk TKI.