Bisnis,com, JAKARTA- Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) meminta adanya investasi baru di sektor petrokimia hulu, terutama untuk produk bijih plastik. Pasalnya, adanya investor bisa mengurangi impor bijih plastik yang saat ini mencapai 40%.
Bijih plastik atau polipropilena (PP) dan polietilena (PE) adalah bahan baku plastik kemasan. PP dan PE dihasilkan dari pengolahan propilena dan etilena. Adapun etilena dan propilena merupakan produk turunan nafta, yang dihasilkan dari pengolahan minyak mentah.
Direktur Eksekutif FPI Hengky Wibawa mengatakan impor bijih plastik tiap tahun dapat menggerus devisa nasional dan mengikis margin industri plastik (petrokimia hilir).
“Sekarang ini yang bisa supply dalam negeri 60%, selebihnya impor 40% dari Timur Tengah. Belum lagi bicara jenis plastik, ada ratusan jenisnya. Untuk mengurangi impor, perlu adanya investor di sektor hulu [petrokimia],” papar Henky kepada Bisnis.com, Jumat (7/2/2014).
Menurutnya, sekarang ini ada empat perusahaan lokal yang memproduksi PP dan PE, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP), PT Lotte Chemical Titan Tbk, PT Polytama Propindo, dan PT Pertamina.
Total kapasitas produksi terpasang PP dan PE pada empat perusahaan itu mencapai 1,56 juta ton. Sedangkan kebutuhan packaging di dalam negeri sekitar 1 juta ton/ tahun.
“Kebutuhan bijih plastik 10% dari bahan baku mentah. Mengenai investasi, butuh dana banyak,” terangnya.
Dia mengatakan Indonesia ketinggalan dari negara lain seperti Thailand dan Singapura yang mampu memproduksi bijih plastik. Padahal, dua negara itu tidak memiliki banyak pasokan minyak mentah.
“Sejak 1993, belum ada investasi baru untuk sektor petrokimia hulu. Adanya peningkatan kapasitas dengan restrukturisasi mesin,” terangnya.