Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Masuk Kategori Fragile Five, Ini Kata Menkeu Chatib Basri

Menteri Keuangan Chatib Basri menilai pengelompokan Indonesia di dalam negara fragile five tidak sesuai dengan stabilitas rupiah dalam beberapa waktu terakhir.
Menkeu Chatib Basri/Bisnis.com
Menkeu Chatib Basri/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Chatib Basri menilai pengelompokan Indonesia di dalam negara fragile five tidak sesuai dengan stabilitas rupiah dalam beberapa waktu terakhir.

Chatib mengaku tidak terlalu memikirkan wacana yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara ekonomi berkembang (emerging economies) dengan mata uang berisiko tinggi (fragile five).

Dia meminta pelaku pasar menilai sendiri kinerja moneter Indonesia dengan melihat posisi pergerakan rupiah dalam beberapa waktu terakhir.

Mata uang rupiah, lanjutnya, tetap stabil meski di bawah tekanan penurunan likuiditas finansial global akibat pengurangan stimulus moneter Bank Sentral Amerika Serikat yang telah bergulir sejak Januari ini dan rencana pengurangan lebih lanjut pada Februari.

Data Bank Indonesia menunjukkan dalam sebulan terakhir Jisdor bergerak pada kisaran Rp12.200 dengan nilai rupiah tertinggi Rp12.047 pada 13 Januari 2014 dan terendah pada 28 Januari 2013 senilai Rp12.267.

“[Rupiah] tidak apa-apa [setelah keputusan tapering off kedua The Fed], rupiahnya masih di situ-situ saja kok,” kata Chatib, Kamis (30/1/2014).

Pengelompokan 5 negara yang disebut sebagai fragile five muncul sejak pertengahan 2013 untuk menggambarkan negara ekonomi berkembang yang mata uangnya dianggap rentan terhadap tekanan penarikan modal (capital outflow).

Wacana tersebut kembali mengemuka pada beberapa hari terakhir setelah implementasi pengurangan stimulus moneter sebesar US$10 miliar pada Januari dan keputusan The Fed untuk mengurangi lagi suntikan dana senilai US$10 miliar pada Februari.

Anggota kelompok fragile five adalah Indonesia, Afrika Selatan, Brasil, Turki, dan India. Mata uang kelima negara tersebut dinilai rentan terhadap tekanan karena inflasi yang tinggi, defisit neraca berjalan, dan kelemahan struktur ekonomi di dalam negeri masing-masing.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper