Bisnis. com, JAKARTA--Pelaku industri kemasan memprediksi capaian omset pada tahun politik bisa menembus Rp55 triliun atau tumbuh 6% dibandingkan tahun sebelumnya Rp52 triliun.
Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia Ariana Susanti mengatakan pertumbuhan omzet didorong atas permintaan kemasan dari pelaku industri makanan dan minuman.
Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan bisnis barang konsumsi selalu di atas 10% karena didorong maraknya bisnis ritel modern dan pasar tradisional.
”Memang, menghadapi tahun pemilu ini kami optimis tumbuh 5%. Namun satu sisi, kami juga masih mempertimbangkan dan merekalkulasi karena kondisi ekonomi dalam negeri makin terpuruk,” papar Ariana saat dihubungi Bisnis, Senin (20//2014).
Selain kondisi ekonomi Indonesia yang tak bisa diprediksi, Ariana mengatakan masalah infrastruktur dalam negeri turut berpengaruh pada produksi pengemasan. Ditambah lagi, lanjutnya, bencana banjir yang hampir merata di Indonesia menyebabkan pengiriman produksi terhambat.
”Macet, cuaca buruk, rupiah terpuruk menyebabkan high cost. Patokan kami [dalam proses produksi] saat rupiah pada angka Rp8.600. Sekarang rupiah malah berkisar Rp12.000. Kenaikannya kurs dolar atas rupiah hampir 50%,” papar Ariana.
Pihaknya menerangkan rupiah yang terus melemah membuat pelaku industri kian tertekan. Pasalnya, harga produk kemasan tidak bisa dinaikkan seketika lantaran sudah terlanjur terikat kontrak dengan beberapa perusahaan.
”Konsumen memesan jauh hari sebelumnya dan kontraknya dalam jangka panjang. Kalau kami menaikkan harga jual sekaligus, mereka [konsumen] bisa berteriak,” papar dia.
Untuk menekan kerugian biaya produksi, tambah Ariana, pelaku industri mengurangi biaya promosi. Pelaku bisnis kemasan membuat efisiensi di dalam dengan memilah mana kebutuhan yang mendesak atau tidak.
Contohnya, biaya promosi yang direncanakan menggunakan dana besar dialihkan dengan biaya produksi Pelaku industri, kata dia, tidak mau memproduksi barang tanpa ada pesanan terlebih dulu.