Bisnis.com, JAKARTA - Daya saing Indonesia masih terlalu rendah untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan, meskipun APBN sudah menembus Rp1.800 triliun.
"Daya saing rendah memperlihatkan produktivitas rendah meskipun APBN sudah menembus Rp1.800 triliun," kata Suharna Surapranata, Pembina Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI).
Mantan Menteri Riset dan Teknologi mengungkapkan hal tersebut dalam diskusi Institute of Strategic Studies and Civilizational Transformation (ISSaCT), Minggu (29/12).
Menurut World Economic Forum dalam Global Competitiveness Report 2013--2014, Indonesia berada di peringkat 38 dari 148 negara yang disurvei.
"Di atas kita ada Thailand (37), Brunei Darussalam (26), Malaysia (24). Apalagi, dibanding Singapura (2) yang berhasil melampaui Amerika Serikat (5), Jerman (4), dan Finlandia (3), kita masih terlalu jauh," tambahnya.
Menurut Suharna, negara yang paling tinggi daya saingnya, peringkat satu adalah Swiss. Untuk itu, Indonesia harus banyak berbenah, terutama dalam bidang pendidikan, riset, dan teknologi.
Daya saing suatu negara mencakup pengembangan institusi, kebijakan, dan berbagai faktor penentu produktivitas bangsa.
"Tingkat produktivitas suatu negara menentukan laju pengembalian investasi dalam arti luas seperti fisik, finansial, insani, dan teknologi," ungkap Suharna.
Bonus demografi, 65% angkatan kerja, akan menjadi bencana jika sistem pendidikan dan keterampilan tidak mendukung.
Koordinator ISSaCT Sapto Waluyo menilai paradigma pembangunan nasional kini makin absurd.
Sapto mencontohkan cara pemerintah menangani defisit neraca transaksi berjalan dan depresiasi rupiah dengan menguras devisa negara. Begitu pula, persiapan Pemilu 2014 yang diwarnai jutaan pemilih hantu dalam DPT.
Sebagai alternatif, ISSaCT mendorong agar pemerintahan baru nanti memperkuat komitmen pembangunan manusia Indonesia.
"Semua kekuatan politik dan ekonomi yang bersaing harus menawarkan model pembangunan manusia yang komprehensif dan bertanggung jawab," ujar Sapto. (Antara)