Bisnis.com, JAKARTA--Menteri Keuangan M. Chatib Basri membantah Ditjen Pajak melakukan praktik ijon untuk mengejar target penerimaan menjelang akhir tahun pajak.
“Pak Fuad (Fuad Rahmany, Dirjen Pajak) enggak mungkin begitu. Saya juga enggak mau begitu,” katanya, Jumat (20/12/2013).
Chatib mengaku sudah mengonfirmasi Dirjen Pajak mengenai adanya dugaan praktik ijon. Kepada dirinya, Dirjen Pajak mengaku tak akan menempuh cara yang menyalahi tata kelola (good governance) itu sekalipun ‘kerepotan’ mengejar target.
Menurutnya, praktik ijon justru merugikan karena akan mengurangi penerimaan tahun pajak berikutnya.
Sejauh ini, tutur Chatib, otoritas pajak di bawah Kemenkeu hanya akan konsisten menempuh ekstensifikasi dan penambahan jumlah pegawai sebagai cara meningkatkan penerimaan.
Sebelumnya, sumber Bisnis menyebutkan kanwil pajak memerintahkan pemeriksa untuk ‘meminta’ wajib pajak (WP) membayar sebagian kewajiban pajaknya meskipun surat ketetapan pajak (SKP) belum terbit.
Mengacu pada istilah di dunia pertanian, praktik ini kerap disebut ijon, yakni usaha Ditjen Pajak ‘meminta’ wajib pajak melunasi sebagian atau seluruh pajak terutang (PPh Pasal 29) yang seharusnya bisa dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir.
Dari sisi pajak, memang tidak ada ketentuan yang dilanggar, tetapi dari sisi good corporate governance, praktik itu dapat menimbulkan masalah. Dengan membayar pajak jauh sebelum jatuh tempo, berarti perusahaan mengalami ‘kerugian’ finansial.
Bagi perusahaan swasta, pemegang saham bisa mempersoalkan direksi yang melakukan ijon. Mereka bisa dianggap tidak memaksimalkan keuntungan. Adapun bagi direksi BUMN, metode tersebut bisa saja masuk ranah korupsi.
Jauh sebelumnya, baik Dirjen Pajak Fuad Rahmany maupun Menkeu Chatib berkomitmen tidak akan melakukan praktik ijon untuk mengejar target penerimaan.