Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Proyek Restorasi Gambut Jutaan Dolar Terancam Gagal

Proyek jutaan dolar yang dikelola Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) diantaranya pengelolaan lahan gambut berpotensi gagal karena banyaknya kerusakan lahan tersebut akibat bisnis yang beroperasi dan inkonsistensi pemerintah.

Bisnis.com, JAKARTA: Proyek jutaan dolar yang dikelola Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) diantaranya pengelolaan lahan gambut berpotensi gagal karena  banyaknya kerusakan lahan tersebut akibat bisnis yang beroperasi dan inkonsistensi pemerintah.  

ICCTF dibentuk pemerintah Indonesia sejak September 2009 untuk mengkoordinasikan dana dari pelbagai sumber, macam donor internasional dan sektor swasta, guna pembiayaan program perubahan iklim di Tanah Air. 

Berdasarkan situs resminya, status pendanaan hingga 2012 mencapai US$11,25 juta dengan rencana  pengalokasian dana mencapai US5,48 juta.

Namun, Bappenas pada November lalu menyatakan  dana yang diserap hingga akhir 2013 diperkirakan mencapai US$1 juta-US$3 juta saja.

Hal itu disebabkan oleh penilaian terhadap Indonesia yang belum mampu mengelola kegiatan berbasis perubahan iklim.

Sementara itu, proyek yang akan dibiayai pada periode 2012-2014 adalah pengelolaan berkelanjutan untuk lahan gambut yang terdegradasi oleh Kementerian Pertanian.

Dua program lainnya adalah pengelolaan hutan masyarakat oleh Kementerian Kehutanan dan penafsiran terhadap kerentanan kesehatan oleh Kementerian Kesehatan.

Kementerian Pertanian sebelumnya mendapatkan sekitar US1,16 juta terkait dengan proyek manajemen lahan gambut berkelanjutan.

Hasil yang diharapkan  dari proyek tersebut adalah data emisi, penelitian dan panduan untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Untuk proyek kedua, hasil yang diharapkan di antaranya adalah strategi dan model pengelolaan kawasan itu dan rekomendasi kebijakan berbasis aspek ekonomi dan lingkungan.

"Pengelolaan berkelanjutan untuk lahan gambut terdegradasi mencoba untuk meningkatkan produktivitas agrikultural dan pengaruh ekonomi sosial," demikian ICCTF dalam laporan perkembangan 2010-2012.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Arie Rompas mengatakan selama pengelolaan kawasan gambut masih dilihat dari aspek ekonomi semata, maka tak ada perbaikan yang serius untuk kerusakan kawasan tersebut.

Catatan Walhi menyatakan sekitar 30% dari 3,1 juta lahan gambut di provinsi tersebut sudah rusak. Kalimantan Tengah merupakan salah satu lokasi proyek untuk pengelolaan lahan gambut selain Jambi dan Riau. Dua lokasi baru adalah Kalimantan Barat dan Papua.

"Beberapa proyek yang dilakukan pemerintah terhadap lahan gambul telah gagal," kata Arie ketika dihubungi pada Senin (9/12/2013).  "Pemerintah berkeyakinan perkebunan skala besar dapat dilakukan di lahan gambut, padahal ini merusak ekosistem kawasan."

Dia mengungkapkan Kementerian Pertanian seharusnya menjadi salah satu pintu untuk perbaikan kawasan gambut. Namun, papar Arie, lembaga itu tetap saja mengizinkan masuknya bisnis skala besar, yang salah satunya terdapat di lahan gambut.

Juru Kampanye Eyes on the Forest (EoF) Afdhal Mahyuddin mengatakan pengelolaan lahan gambut di Riau tidak dilakukan secara serius selama ini. Bukti paling nyata, paparnya, adalah tetap terjadinya pembakaran lahan dan terjadinya banjir di pelbagai tempat.

Afdhal mengungkapkan salah satu masalah terhadap lahan gambut di provinsi tersebut adalah pemberian izin hutan tanaman industri (HTI) kepada perusahaan di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.  Walaupun menyambut baik adanya asistensi internasional, dia mengungkapkan, pemerintah belum serius memperbaiki kawasan gambut.

"Adanya pemberian izin terhadap perusahaan  [beroperasi di lahan gambut], namun juga mendapatkan dana dari internasional itu kontradiktif," kata Afdhal, hari ini. " Komitmen serius itu tak hanya dari bisnis, namun juga pemerintah."

Masyarakat Gambut Pantai Timur Sumatera (MGPTS) sebelumnya menyatakan bahwa konflik, perampasan lahan dan kerusakan lingkungan di kawasan gambut justru terjadi karena lajunya ekspansi bisnis. Bisnis yang dimaksud adalah perkebunan kelapa sawit dan HTI.

Data MGPTS menyatakan konflik dan kerusakan lingkungan itu terjadi di sepanjang Jambi, Riau dan Sumatra Selatan. Kawasan yang rusak di antaranya adalah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Jambi), Kabupaten Kepulauan Meranti (Riau) dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (Sumatra Selatan).

Terkait dengan proyek hutan berbasis komunitas, kritik pun pernah dilontarkan oleh Myrna Safitri dari Epistema Institute. Lembaga itu menyatakan bahwa hutan berbasis masyarakat hingga kini belum mampu menyeimbangkan alokasi pemanfaatan hutan dengan pemegang izin kehutanan.

Dia menyimpulkan bahwa izin lahan yang diberikan untuk pemanfaatan hutan jauh lebih besar diberikan kepada perusahaan, dibandingkan kepada masyarakat. Mengutip statistik Road Map Forest Tenure 2011 oleh Kementerian Kehutanan, Myrna menyatakan, IUPHHK-HA saja mencapai 25.700.000 hektare atau jauh lebih luas dibandingkan dengan misalnya hutan desa atau hutan tanaman rakyat yang masing-masing adalah 10.310 hektare serta 90.415 hektare.

Tak hanya itu, statistik kehutanan pada 2011 juga menunjukkan sekitar 7 juta hektar kawasan hutan digunakan untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan. Data itu memaparkan pelepasan kawasan hutan untuk kebun mencapai 5.253.774,75 hektar, izin pinjam-pakai untuk eksplorasi sebesar 1.521.400,09 hektar dan izin pinjam-pakai untuk eksploitasi adalah 203.657 hektar.

"Pemerintah enggan mencadangkan kawasan hutan untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat, sebaliknya mengajukan pelepasan kawasan hutan demi memfasilitasi perizinan perkebunan dan pertambangan," kata Myrna.

"Pemerintah  harus mendorong inisiatif lokal bagaimana masyarakat mengelola lahan gambut," kata Arie Rompas, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, terkait dengan pengelolaan lahan gambut.

"Lahan gambut selama ini belum dikelola lestari oleh bisnis dan pemerintah," kata Afdhal Mahyuddin, Juru Kampanye EoF. "Kami mendesak agar restorasi terhadap kawasan itu dilakukan segera."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Anugerah Perkasa
Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper