Bisnis.com, JAKARTA - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia mendesak pemerintah memperjelas komunikasi soal public private partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah dengan swasta termasuk dalam pengembangan bandara dan pelabuhan.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Raja Sapta Oktohari mengatakan selama ini implementasi PPP cenderung lebih diperuntukan bagi swasta asing bukan swasta nasional.
Padahal, pengusaha-pengusaha nasional sebetulnya sangat berminat dengan proyek infrastruktur asal tersedia informasi yang jelas dan mekanisme penyertaan yang bakal diatur.
“Pemerintah gagal dalam berkomunikasi dengan masyarakat dunia usaha karena banyak PPP belum jalan, ini cenderung hanya untuk asing,” katanya ditemui usai Dialog Publik Hipmi, Menerobos Kebuntuan Infrastruktur Indonesia Perkotaan dan Perdesaan di Jakarta, Rabu (27/11).
Selama ini, proyek-proyek pelabuhan dan bandara dengan konsep PPP belum jalan lantaran masih terkendala minimnya informasi. Promotor tinju ini mencontohkan penawaran satu proyek infrastruktur melalui PPP dengan nilai puluhan triliun memang besar dari sisi nilai bagi kemampuan pengusaha nasional.
Namun, apabila besaran investasi infrastruktur itu dipecah dan dibebankan dalam bentuk konsorsium pengusaha nasional, besaran nilai triliunan itu akan bisa ditangani secara bersama oleh pengusaha dalam negeri.
“Misalnya ada proyek Rp2,3 triliun, temen-temen di Hipmi pasti enggak kuat, tapi kalau dipecah, misalnya 30%, sekitar Rp600 miliar, lalu dibagi lagi 10% Rp60 miliar, tentu dengan adanya konsorsium bisa tirnggal dicari pendanaan,” katanya.
Menurutnya, Hipmi bukan oposisi pemerintah melainkan memposisikan diri sebagai mitra dalam pembangunan. “PPP itu sebetulnya sudah merupakan kreativitas di tengah keterbatasan anggaran negara, potensi besar tapi untuk memanfaatkan potensi kita perlu ada kerja sama.”
Hipmi juga menekankan perlu diperhatikan adalah pada 2015 mengingat pada tahun depan merupakan tahun pemilu yang dikhawatirkan pergantian pemerintahan berpotensi merubah kebijakan lama.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Elan Satriawan menilai program PPP itu sebetulnya tidak hanya berkutat pada asing dan swasta nasional melainkan semestinya dikaji program investasi lain yang turut melibatkan masyarakat daerah.
“Kita bicara bukan soal pendanaan, PPP ini mesti ada P tambahan, bisa the poor, bisa people. DI mana masyarakat desa itu punya kemampuan non finansial yang bisa mereka berdayakan,” katanya.
Dia mencontohkan program PNPM Mandiri yang dimulai pada 2007 dengan memberikan dana Rp1 miliar-3,5 miliar kepada kecamatan itu cukup baik dalam mendorong pertumbuhan infrastruktur daerah.
Dalam kesempatan itu, Dosen Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Jehansyah Siregar mengatakan pemerintah perlu visi yang jelas dalam membangun infrastruktur tak hanya sebuah proyek konstruksi.
Selama ini, beberapa proyek infrastrukur jauh dari visi jangka panjang di antaranya hanya untuk infrastruktur politik rendahan misalnya Jembatan Suramadu senilai Rp10 triliun yang dibangun tanpa akselerasi pengembangan kawasan dan peningkatan nilai lahan.
Selain itu proyek infrastruktur untuk mengambil peluang bisnis misalnya Jembatan Selat Sunda, pembangunan jalan tol swasta, dan PDAM swasta. Proyek lain ialah proyek infrastruktur hanya sebagai objek makelarisasi misalnya jalan, jembatan, saluran dan drainase.
Jehansyah juga menegaskan perlunya proyek infrastruktur dengan delivery system atau pengembangan lanjutan dengan visi dan sistem penyediaan yang utuh. Proyek tanpa delivery system itu di antaranya ratusan menara rusunawa dengan nilai triliunan tanpa konsep public housing delivery system, penataan Ciliwung.